Foto: Ridwan Harahap |
Arcandra mengatakan ada empat faktor yang menyebabkan lapangan migas menjadi marjinal. "Sebuah lapangan dikatakan marjinal atau tidak bisa di-develope karena oil price (yang rendah), sehingga lapangan yang dulu ekonomis sekarang tidak bisa lagi," kata Arcandra terkait faktor pertama, dalam acara Simposium dan Kongres Nasional IATMI di Jakarta, Selasa (06/12).
Faktor kedua adalah manakala teknologi tidak mampu untuk melakukan pengeboran dan produksi pada lapangan tersebut dengan harga yang ekonomis.
"Yang ketiga adalah kalau di remote area sehingga tidak bisa akses ke sana, jadi mahal. Dan yang ke empat, lapangan menjadi marjinal kalau reserve-nya enggak cukup," paparnya seraya menjelaskan bahwa dengan cadangan di bawah 1,3 TCF dengan harga jual gas US$ 8 per mmbtu maka lapangan tersebut tergolong marjinal.
Menurutnya, lapangan-lapangan migas di Natuna tergolong marjinal. Ia pun menerangkan salah satu tandanya, di mana tak ada investor yang masuk ke sana. "Apakah di daerah tersebut orang mau berlomba-lomba untuk mengembangkan lapangan, kalau iya berarti lapangan tersebut tidak marjinal. Tapi kalau diam saja, hanya existing, kemungkinan besar daerah tersebut marjinal karena empat hal tadi," bebernya.
Seperti diketahui salah satu blok di Natuna yaitu Blok East Natuna memiliki cadangan gas in place cukup besar yaitu 222 TCF dan cadangan terbukti 46 TCF. Namun sejak ditemukan tahun 1973 pengembangannya seolah jalan di tempat, kalah dengan Arun dan Badak yang ditemukan pada waktu yang sama.
"East Natuna besar sekali tapi dikembangkan atau tidak? Tidak, diam saja. Apa penyebabnya? Bisa jadi teknologi yang ekonomis belum ketemu," jelas Arcandra.
Karena itu menurut Wamen ESDM harus dibangun kapasitas nasional terkait teknologi migas di Indonesia. "Itu sangat saya harapkan in the future," pungkasnya. RH
Wamen ESDM Nilai Lapangan Migas di Natuna Masih Marjinal
Reviewed by OG Indonesia
on
Selasa, Desember 06, 2016
Rating: