Jakarta, OG Indonesia -- Wacana penerapan mekanisme Gross Split yang sudah dimodifikasi dengan berbagai parameter insentif oleh Kementerian ESDM sebenarnya merupakan ide yang brilian. Hal tersebut dikatakan oleh Pakar Migas Iwan Ratman.
Namun Iwan menyarankan agar dibuat kajian lebih dalam terlebih dahulu sebelum benar-benar diterapkan. "Dengan kajian tersebut maka dapat diprediksi apakah sistem baru ini dapat memberikan pengaruh terhadap penerimaan negara (state revenues), cadangan migas (reserves) dengan peningkatan kegiatan eksplorasi, dan iklim investasi," kata Iwan dalam keterangan tertulis kepada OG Indonesia, Jumat (16/12).
Iwan pun mengutip pernyataan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar yang mengatakan memang tak ada jaminan atas tercapainya ketiga tujuan di atas, namun dengan penerapan sistem baru tersebut dapat memberikan harapan akan tercapainya tujuan di atas.
"Untuk memprediksi hal tersebut di atas maka perlu dilakukan economic modelling serta intangable effects dalam bentuk beberapa analisa dengan metoda risk based factor analysis, sensitivity analysis dengan menentukan preferences atau keberpihakan terhadap parameter obyektif di atas. Jika tidak, maka tujuan perubahan sistem ini penuh gambling. Selain itu maka dilakukan "Uji Klinis" sebelum benar-benar diterapkan secara penuh," paparnya.
Mantan Deputi SKK Migas ini menerangkan bahwa selama ini seolah-olah nilai cost recovery semakin tinggi, sementara penerimaan negara semakin rendah. Menurutnya, memberikan penilaian yang keliru terhadap "fenomena" tersebut akan memberikan solusi yang juga keliru.
"Dari dulu yang namanya penerimaan negara yang masuk ke dalam APBN pada sistem PSC adalah government take hasil dari net revenues to be split, di mana pemasukan negara sudah termasuk hasil dari First Tranche Petroleum (FTP). Sedangkan Cost recovery adalah penggantian semua biaya yang timbul sebelum produksi. Pengendalian Cost Recovery adalah parameter utama pada sistim yang ada sekarang di mana peran SKK Migas sangat krusial. Bila dianggap kerja SKK Migas tidak optimal dalam pengendalian Cost Recovery maka pembenahan maksimal perlu dilakukan," bebernya.
"Ide Gross Split ini bisa katakan adalah inovasi brilian, namun harus dilakukan review study yang komprehensif sehingga ketika diterapkan dapat menjamin tujuan yang diharapkan atas perubahan sistem ini dapat tercapai," sambung Iwan.
Karena itu, Iwan mengusulkan agar penamaan mekanisme baru tersebut jangan "Gross split" sebab akan menimbulkan mispersepsi di kalangan investor yang akan berinvestasi di Indonesia. "Saya usulkan namanya adalah "Modified PSC", karena masih berada dalam rezim kontrak PSC di mana akan dilakukan beberapa modifikasi termasuk menghilangkan skema Cost Recovery. Juga FTP dan beberapa pajak-pajak seperti halnya dalam sistem tax and royalty," tuturmya.
"Akhirnya kita berharap semoga penerapan sistem ini dapat memberikan suatu sistem yang lebih baik terutama harapan akan meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan cadangan migas dan memberikan iklim investasi yang lebih menarik kepada investor," pungkas Iwan. RH
Namun Iwan menyarankan agar dibuat kajian lebih dalam terlebih dahulu sebelum benar-benar diterapkan. "Dengan kajian tersebut maka dapat diprediksi apakah sistem baru ini dapat memberikan pengaruh terhadap penerimaan negara (state revenues), cadangan migas (reserves) dengan peningkatan kegiatan eksplorasi, dan iklim investasi," kata Iwan dalam keterangan tertulis kepada OG Indonesia, Jumat (16/12).
Iwan pun mengutip pernyataan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar yang mengatakan memang tak ada jaminan atas tercapainya ketiga tujuan di atas, namun dengan penerapan sistem baru tersebut dapat memberikan harapan akan tercapainya tujuan di atas.
"Untuk memprediksi hal tersebut di atas maka perlu dilakukan economic modelling serta intangable effects dalam bentuk beberapa analisa dengan metoda risk based factor analysis, sensitivity analysis dengan menentukan preferences atau keberpihakan terhadap parameter obyektif di atas. Jika tidak, maka tujuan perubahan sistem ini penuh gambling. Selain itu maka dilakukan "Uji Klinis" sebelum benar-benar diterapkan secara penuh," paparnya.
Mantan Deputi SKK Migas ini menerangkan bahwa selama ini seolah-olah nilai cost recovery semakin tinggi, sementara penerimaan negara semakin rendah. Menurutnya, memberikan penilaian yang keliru terhadap "fenomena" tersebut akan memberikan solusi yang juga keliru.
"Dari dulu yang namanya penerimaan negara yang masuk ke dalam APBN pada sistem PSC adalah government take hasil dari net revenues to be split, di mana pemasukan negara sudah termasuk hasil dari First Tranche Petroleum (FTP). Sedangkan Cost recovery adalah penggantian semua biaya yang timbul sebelum produksi. Pengendalian Cost Recovery adalah parameter utama pada sistim yang ada sekarang di mana peran SKK Migas sangat krusial. Bila dianggap kerja SKK Migas tidak optimal dalam pengendalian Cost Recovery maka pembenahan maksimal perlu dilakukan," bebernya.
"Ide Gross Split ini bisa katakan adalah inovasi brilian, namun harus dilakukan review study yang komprehensif sehingga ketika diterapkan dapat menjamin tujuan yang diharapkan atas perubahan sistem ini dapat tercapai," sambung Iwan.
Karena itu, Iwan mengusulkan agar penamaan mekanisme baru tersebut jangan "Gross split" sebab akan menimbulkan mispersepsi di kalangan investor yang akan berinvestasi di Indonesia. "Saya usulkan namanya adalah "Modified PSC", karena masih berada dalam rezim kontrak PSC di mana akan dilakukan beberapa modifikasi termasuk menghilangkan skema Cost Recovery. Juga FTP dan beberapa pajak-pajak seperti halnya dalam sistem tax and royalty," tuturmya.
"Akhirnya kita berharap semoga penerapan sistem ini dapat memberikan suatu sistem yang lebih baik terutama harapan akan meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan cadangan migas dan memberikan iklim investasi yang lebih menarik kepada investor," pungkas Iwan. RH
Iwan Ratman: Ide Gross Split Brilian, Tapi Harus Dikaji Lebih Dalam
Reviewed by OG Indonesia
on
Jumat, Desember 16, 2016
Rating: