Satya Widya Yudha, Anggota Komisi VII DPR RI, Foto: Ridwan Harahap |
"Pemerintah perlu memperkuat kebijakan untuk mengantisipasi pelemahan harga minyak bumi yang berujung pada penurunan kegiatan eksplorasi. Salah satunya adalah perlunya pengenalan term PSC yang lebih sensitif terhadap gejolak harga minyak dunia," kata Satya dalam siaran pers yang diterima OG Indonesia, Minggu (23/10) di Jakarta.
Satya menerangkan, dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan mitra kerja terkait, juga dalam berbagai forum diskusi dan seminar ataupun wawancara dengan media, dirinya kerap mengemukakan perlunya penggunaan formula sliding scale.
Dengan formula sliding scale ini, menurutnya, akan membuat bagi hasil migas beradaptasi dengan naik turunnya harga minyak dunia. Apabila harga minyak rendah, maka porsi dari KKKS membesar, dan porsi negara mengecil. "Ini dimaksudkan agar kontraktor bisa bertahan dalam kondisi harga minyak yang rendah," terangnya.
Sebaliknya, ditambahkan Satya, pada waktu harga minyak dunia tinggi, maka porsi pemerintah bertambah, sedangkan porsi kontraktor berkurang. "Hanya saja, berkurangnya porsi kontraktor ini masih menguntungkan bagi mereka untuk melanjutkan investasinya. Dengan cara demikian, maka industri migas di Tanah Air akan lebih bisa beradaptasi terhadap tekanan harga minyak dunia," bebernya.
Dengan term PSC semacam itu, dikatakan Satya, investor akan terdorong untuk mau melakukan eksplorasi mencari sumur-sumur minyak baru. Di mana saat ini, eksplorasi sudah menjadi barang mahal di Indonesia, sementara tanpa eksplorasi tak akan ada sumur minyak baru. "Kita tentu tak boleh terlena dengan sumur minyak yang sudah ada yang kian menua," tegas Satya.
Adapun terhadap ladang migas yang sudah akan habis masa kontraknya, Satya mengatakan perlu dipikirkan adanya aturan yang dapat memberikan kepastian tentang perpanjangan kontrak, jauh sebelum kontrak berakhir. "Kepastian ini penting untuk memacu investor hulu migas tetap berinvestasi," ucapnya.
Dilanjutkan Satya, mengenai keinginan para pelaku usaha agar PP 79/2010 tentang Cost Recovery atau biaya operasi yang dapat dikembalikan, juga revisi pajak di bidang hulu migas, sudah ada keinginan pemerintah untuk melakukan perubahan.
"Tinggal implementasi. Implementasi ini penting, mengingat PP 79/2010 sebenarnya mengatur sesuatu yang sejatinya sudah diatur dalam kontrak migas, sehingga masuk dalam negative list investor," paparnya.
DPR sudah mengusulkan revisi PP tersebut sejak periode 2009 – 2014. Menurutnya, revisi yang diusulkan Komisi VII DPR tetap memperhatikan asas keadilan dan Penerimaan Negara. Revisi dimaksud meliputi pertama, perubahan rezim perpajakan dengan pemikiran kegiatan hulu migas menggunakan prinsip Assumed and Discharged, yakni semua pajak ditanggung dan/atau dibayarkan pemerintah. Kemudian, kegiatan eksplorasi dibebaskan dari segala jenis pajak dan cukai, serta perlunya menghormati tax treaty.
Kedua, revisi PP dengan menyederhanakan birokrasi audit pada kegiatan hulu migas untuk meminimalisir multi-opini terhadap objek audit yang sama. Ketiga, memperjelas klasfikasi Kilang dan Proses LNG menjadi sektor Hulu.
"Revisi atas PP tersebut menjadi salah satu langkah untuk menarik investor. Saya berharap, ketika tidak mampu secara fiskal, untuk mendanai yang sifatnya fundamental seperti eksplorasi migas, pemerintah perlu mengeluarkan senjatanya berupa kebijakan. Kebijakan harus dibuat, dibuat payung hukum, agar orang yang punya uang berinvestasi. Mau eskplorasi. Kebijakan semacam ini dapat terjadi, jika semua instansi terkait di pemerintahan punya visi kuat bersama tentang pentingnya kegiatan eksplorasi migas," pungkasnya. RH
Ini PR Jokowi-JK di Sektor Hulu Migas
Reviewed by OG Indonesia
on
Senin, Oktober 24, 2016
Rating: