Satya Widya Yudha dalam acara FGD di Kampus UI Depok. Foto: Istimewa |
“Kita tidak boleh terlena dengan sumber migas yang sudah kita miliki, yang produksinya terus menurun. Kita harus mencari yang baru, untuk peninggalan kepada generasi mendatang. Karena itu saya mendukung adanya Konsorsium Riset Migas Kelautan, yang dibentuk kemarin di Universitas Indonesia,” ujar Ketua Bidang Sumber Daya Alam Partai Golkar ini, Kamis (08/09) di Jakarta.
Pembentukan konsorsium diawal dengan focus grup discussion (FGD), bertema "Realisasi Visi Eksplorasi Migas Nasional”. Satya hadir menjadi salah satu pembicara dalam FGD ini.
Dalam FGD tersebut, Satya mengingatkan bahwa eksplorasi migas telah menjadi barang mahal di Indonesia. Karena itu, visi bersama perlu dimiliki, khususnya oleh pemerintah. Setidaknya tiga kementerian, yakni Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, harus bahu-membahu menyatu untuk mengupayakan agar kegiatan eksplorasi migas dapat berjalan.
"Selama ini permasalahan perizinan, permasalahan tanah sering menjadi kendala dalam kegiatan di hulu migas. Juga, soal tak saling sinkronnya kebijakan antar kementerian,” tuturnya.
Berdasarkan pengalaman tersebut, maka Satya sempat mengingatkan Menteri Luhut yang ingin mempercepat revisi PP 79/2010 Tentang tentang Biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan PPh di bidang usaha hulu migas.
“Saya katakan ke Pak Luhut, apakah Bapak sudah menyampaikan keinginan tersebut ke Bu Sri Mulyani (Menteri Keuangan)? Karena PP itu diterbitkan ketika Bu Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan (di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono),” ungkapnya.
Tentang PP 79/2010, menurut Satya, memang sering dikeluhkan oleh kontraktor migas ketika hadir dalam dengar pendapat dengan DPR. PP tersebut dinilai mengurangi keekonomian proyek dan menciptakan ketidakpastian. “PP 79/2010 itu mengatur sesuatu yang sejatinya sudah diatur dalam kontrak migas, sehingga masuk dalam negative list investor,” ucapnya.
DPR sudah mengusulkan adanya revisi sejak periode 2009-2014. Revisi yang diusulkan Komisi VII tersebut dengan tetap memperhatikan asas keadilan dan Penerimaan Negara.
Revisi meliputi, pertama, perubahan rezim perpajakan dengan pemikiran kegiatan hulu migas menggunakan prinsip Assumed and Discharged, yakni semua pajak ditanggung dan/atau dibayarkan pemerintah. Kemudian, kegiatan eksplorasi dibebaskan dari segala jenis pajak dan cukai, serta perlunya menghormati tax treaty.
Kedua, revisi PP dengan menyederhanakan birokrasi audit pada kegiatan hulu migas untuk meminimalisir multi-opini terhadap objek audit yang sama. Ketiga, memperjelas klasifikasi Kilang dan Proses LNG menjadi sektor Hulu.
Revisi atas PP tersebut menjadi salah satu langkah untuk menarik investor. Menurut Satya, DPR memahami bahwa iklim investasi di Indonesia masih memprihatinkan.
Misalnya, dalam Index Kemudahan Melakukan Bisnis oleh World Bank 2014, Indonesia di peringkat 114. Kalah jauh dengan Malaysia di peringkat 18, bahkan dengan Vietnam peringkat 78, dan Brunei 101, serta Zambia 111. “Jadi situasi sekarang ini, sudah duit tidak punya, iklim investasi tidak menunjang,” ucapnya.
Satya berharap, ketika tidak mampu secara fiskal, untuk mendanai yang sifatnya fundamental seperti eksplorasi migas, pemerintah harusnya mengeluarkan senjatanya berupa kebijakan.
“Kebijakan harus dibuat, dibuat payung hukum, agar orang yang punya uang berinvestasi, mau eskplorasi. Kebijakan semacam ini dapat terjadi, jika semua instansi terkait di pemerintahan punya visi kuat bersama tentang pentingnya kegiatan eksplorasi migas,” tutupnya. RH
Agar Produksi Migas Naik, Perlu Visi Bersama Eksplorasi
Reviewed by OG Indonesia
on
Jumat, September 09, 2016
Rating: