
“Untuk kontrak yang habis, by default dia langsung ke BUMN, katakanlah sekarang Pertamina,” ujarnya.
Herman menegaskan, dalam konteks tersebut pemerintah bisa langsung mengambil alih asetnya karena membayar cost recovery kepada kontraktor, sehingga saat kontrak berakhir, maka aset menjadi milik Pemerintah Indonesia.
“Kontrak migas existing production sharing, itu kalau habis, sebetulnya itu milik negara, karena kita bayar cost recovery-nya ke kontraktor. Menurut saya, di aturan yang akan datang, asetnya diambil dan by default pemerintah menyerahkan aset itu ke BUMN,” tuturnya.
Herman melanjutkan, By default artinya tidak ada lagi negosiasi atau pembicaraan, karena aset itu sudah menjadi milik Pemerintah Indonesia dan pemerintah harus memprioritaskan mislnya Pertamina untuk mengelolanya.
Namun apabila Pertamina atau BUMN tidak mau, maka pemerintah baru membuka opsi kepada perusahaan Migas swasta nasional. Dan jika pihak swasta tidak mau, baru bisa diberikan ke perusahaan asing. “Dan diteruskannya bukan lagi production sharing, tapi pakai contract service, karena investasinya sudah ada, dia tinggal melanjutkan saja,” imbuhnya.
Selain itu, tambahnya, revisi juga harus memberikan peluang yang lebih besar kepada perusahaan Migas milik negara dan swasta nasional, terutama di blok-blok Migas yang tidak sulit. Terlebih, saat ini mayoritas perusahaan asing global menguasai sektor Migas.
“Buktinya, ternyata aset migas di Indonesia hanya dikuasai 20 persen oleh national company, baik Pertamina, Medco, dan lain-lain. Jadi, yang 80 persen dikuasai perusahaan migas asing. Ini (perusahaan Migas nasional) kita perbesar. Jadi ke depan, kita perlu membuat semacam aturan supaya ada insentif orang lokal menjadi kontraktor, ada semacam kemudahan atau insentif,” pungkasnya.
Dorong Potensi Nasional, Revisi UU Migas Harus Pro BUMN
Reviewed by OG Indonesia
on
Kamis, April 28, 2016
Rating: