|
Seminar "Penguasaan Negara
dan Monetisasi Cadangan
Migas Konstitusional" di Jakarta.
Foto: Ridwan Harahap |
Jakarta, OG Indonesia -- Dominasi badan usaha nasional pada sektor hulu migas melalui BUMN seperti Pertamina masih sangat rendah, yaitu hanya sebesar 20%.
Hal tersebut dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam seminar "Penguasaan Negara dan Monetisasi Cadangan Migas Konstitusional" di Gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta, Selasa (15/03). "BUMN kita dalam posisi yang masih sangat jauh untuk berperan menjadi tuan rumah di negara sendiri," kata Marwan.
Ia memaparkan BUMN migas di negara lain porsi produksi domestik migasnya sangat besar dan signifikan dibandingkan dengan Pertamina. "Seperti Brasil 81%, Algeria 78%, Norwegia 58%, dan Malaysia 47%," tuturnya.
Marwan menerangkan kondisi ini sebagai dampak liberalisasi dalam pengaturan dan pengelolaan migas nasional sejak berlakunya UU Migas No. 22 tahun 2001 yang sampai saat ini revisinya tak kunjung rampung.
Untuk meningkatkan peran BUMN migas dalam pengelolaan sumber daya alam migas nasional, Marwan mengatakan tidak perlu dibentuk BUMN baru seiring munculnya wacana menjadikan SKK Migas sebagai BUMN baru. "Sebaliknya, sudah selayaknya peran dan fungsi kontraktual dan pengawasan yang dijalankan oleh SKK Migas dihentikan dan beralih untuk dijalankan oleh Pertamina," ucapnya.
Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi menegaskan pernyataan Marwan. Menurutnya kondisi Pertamina saat ini besarnya hanya seperlima dari perusahaan migas Malaysia, Petronas. "Padahal Petronas itu dulu berguru pada Pertamina," ungkapnya.
Namun dengan memberikan peran yang lebih luas kepada Pertamina dalam mengelola migas di tanah air, Kurtubi menekankan pentingnya pengawasan yang ketat agar Pertamina tak melenceng. "Pertamina harus dikontrol ketat, jangan menjadi sumber korupsi baru," tutup Kurtubi. RH