Jakarta, O&G Indonesia-- Menanggapi 'kepretan' Rizal Ramli yang menyebut Indonesia 'terpaksa' mengekspor gas, karena dalam aturan undang-undang melarang produksi gas
nasional dimanfaatkan di dalam negeri lebih dari 20%. Hal ini mengundang protes dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
SKK Migas mempertanyakan aturan mana yang mewajibkan Indonesia hanya boleh menggunakan maksimal 20% produksi gas bumi nasional, sementara sisanya di ekspor.
"Aturan yang mana ya? Saya rasa tidak ada aturan seperti itu. Dan kalau ada undang-undang yang batasi pemanfaatan gas dalam negeri maksimal 20% dari total produksi gas nasional, nyatanya saat ini pemanfaatan gas bumi dalam negeri sudah 50% lebih dari gas yang diproduksi," kata Kepala Hubungan Masyarakat, SKK Migas, Elan Biantoro.
Elan menjelaskan, produksi gas yang ada di Indonesia sebagian besar ada dua jenis yakni gas ringan yang terdiri dari C1 (ethane) dan C2 (methane) atau sering disebut dengan gas bumi. Sedangkan gas berat berupa C3 (Propana) dan C4 (Butana) atau sering disebut elpiji.
"Di Indonesia lapangan minyaknya paling banyak menghasilkan gas bumi (C1 dan C2). Dulu memang banyak kita ekspor karena permintaan dalam negeri sedikit. Namun, seiring berjalannya waktu kita terus membangun pipa-pipa gas bumi, FSRU (Floating Storage Regassification Unit), saat ini kita sudah punya 3 FSRU. Kalau sudah kita sudah punya FSRU mungkin kita tidak perlu harus ekspor gas ke China, Jepang, dan Korea, kita manfaatkan sendiri," jelasnya.
Elan menegaskan kembali, bahwa tidak ada aturan yang membatasi pemanfaatan gas bumi dalam negeri. Justru suatu saat industri maju, infrastruktur gas di mana-mana, Indonesia tidak akan lagi mengekspor produksi gasnya.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi menyatakan, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Maksud pasal ini, jatah bagian kontraktor (perusahaan migas) baik itu gas maupun minyak, 25% wajib digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Itu namanya DMO (Domestic Market Obligation). Jadi di undang-undang ini makin memperkuat produksi nasional bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kebutuhan dalam negeri," tutup Elan.
SKK Migas mempertanyakan aturan mana yang mewajibkan Indonesia hanya boleh menggunakan maksimal 20% produksi gas bumi nasional, sementara sisanya di ekspor.
"Aturan yang mana ya? Saya rasa tidak ada aturan seperti itu. Dan kalau ada undang-undang yang batasi pemanfaatan gas dalam negeri maksimal 20% dari total produksi gas nasional, nyatanya saat ini pemanfaatan gas bumi dalam negeri sudah 50% lebih dari gas yang diproduksi," kata Kepala Hubungan Masyarakat, SKK Migas, Elan Biantoro.
Elan menjelaskan, produksi gas yang ada di Indonesia sebagian besar ada dua jenis yakni gas ringan yang terdiri dari C1 (ethane) dan C2 (methane) atau sering disebut dengan gas bumi. Sedangkan gas berat berupa C3 (Propana) dan C4 (Butana) atau sering disebut elpiji.
"Di Indonesia lapangan minyaknya paling banyak menghasilkan gas bumi (C1 dan C2). Dulu memang banyak kita ekspor karena permintaan dalam negeri sedikit. Namun, seiring berjalannya waktu kita terus membangun pipa-pipa gas bumi, FSRU (Floating Storage Regassification Unit), saat ini kita sudah punya 3 FSRU. Kalau sudah kita sudah punya FSRU mungkin kita tidak perlu harus ekspor gas ke China, Jepang, dan Korea, kita manfaatkan sendiri," jelasnya.
Elan menegaskan kembali, bahwa tidak ada aturan yang membatasi pemanfaatan gas bumi dalam negeri. Justru suatu saat industri maju, infrastruktur gas di mana-mana, Indonesia tidak akan lagi mengekspor produksi gasnya.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi menyatakan, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Maksud pasal ini, jatah bagian kontraktor (perusahaan migas) baik itu gas maupun minyak, 25% wajib digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Itu namanya DMO (Domestic Market Obligation). Jadi di undang-undang ini makin memperkuat produksi nasional bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kebutuhan dalam negeri," tutup Elan.
SKK Migas Tangkis 'Kepretan' Soal RI Terpaksa Ekspor Gas
Reviewed by OG Indonesia
on
Rabu, September 16, 2015
Rating: