Jakarta, O&G
Indonesia – Sektor industri ekstraktif di Indonesia menyumbang sekitar 25%
dari total seluruh penerimaan negara. Sayangnya transparansi terkait penerimaan
daerah yang berasal dari industri ekstraktif masih belum terbuka. Kondisi saat
ini, dari beberapa provinsi penghasil migas dan hasil tambang ternyata masih
banyak penduduknya yang miskin.
“Sektor industri ekstraktif ini menyumbang sekitar 25 persen
dari penerimaan negara, ini sangat signifikan bagi kita semua. Karena itu perlu
ada transparansi untuk memperbaiki tata kelola di industri ekstraktif,” kata
Andi Novianto, Asisten Deputi Produktivitas Energi Kemenko Perekonomian yang
juga Ketua Sekretariat Tim Transparansi Industri Ekstraktif di Jakarta, Selasa
(25/08).
Ditambahkan oleh Andi, Indonesia saat ini berada pada
peringkat ke 107 dari 175 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2014, yang
berarti Indonesia masih berpredikat kurang baik terkait persoalan korupsi. “Jadi
bisa dibayangkan dengan posisi demikian, peran untuk transparansi ini sangat
penting untuk kita semua,” jelasnya.
Karena itu Indonesia sejak tahun 2007 lewat Menko Perekonomian Sri Mulyani telah menyatakan dukungan kepada Extractive International Transparancy Initiative (EITI) yang
dilanjutkan dengan keluarnya Perpres 26/2010 oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tentang pembentukan EITI Indonesia dengan ketuanya Menko
Perekonomian.
Dengan adanya EITI Indonesia, dibentuklah Tim Transparansi
Industri Ekstraktif yang bertugas melaksanakan transparansi pendapatan negara
dan pendapatan daerah yang diperoleh dari industri ekstraktif. Dalam pelaksanaan
tugasnya, Tim Transparansi berwenang untuk meminta informasi, data tambahan,
masukan dan/atau mengadakan konsultasi dengan instansi pemerintah pusat,
pemerintah daerah, perusahaan Industri Ekstraktif, dan pihak lain yang
dipandang perlu.
Diterangkan oleh Andi, EITI Indonesia dari tahun 2009 sampai
2011 telah mengeluarkan laporan terkait industri ekstraktif di Indonesia, sementara
untuk tahun 2012-2013 masih dalam tahap penyusunan. Berdasarkan data dari EITI
Indonesia, dari tahun ke tahun laporan dari perusahaan-perusahaan di sektor
industri ekstraktif terus meningkat, di mana sudah mencakup sekitar 90% dari
total penerimaan negara dari industri ekstraktif.
Andi menuturkan tidak semua hal perlu dilaporkan dari
kegiatan industri ekstraktif yang dijalankan. “Ada beberapa hal tertentu yang
tidak perlu kita buka seluruhnya, karena ini memang masih baru jadi ada hal-hal
yang kita batasi juga sesuai kesepakatan antara pemerintah, perusahaan, sampai civil society atau CSO,” paparnya. RH
Sumbang 25 Persen Pendapatan Negara, Industri Ekstraktif Perlu Keterbukaan
Reviewed by OG Indonesia
on
Selasa, Agustus 25, 2015
Rating:
