Jakarta, O&G Indonesia-- PT Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai (PHE RT)
mempertanyakan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang beralih ke
pengadilan umum. Seperti diketahui terjadi sengketa bisnis antara PHE RT dan
Golden Spike Energy Indonesia (GSEI) dan terakhir berujung pada keluarnya
putusan akhir dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan pihak GSEI.
Putusan tersebut menurut Senior Manager Legal PHE Supriyadi merupakan
pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, karena sebelumnya sengketa antara PHE RT dan
GSEI sudah disepakati diselesaikan melalui jalur arbitrase.
“Dalam perjanjian kontrak kerja sama antara PHE RT dan GSEI pasal 11.1.2 PSC disebutkan bahwa para pihak wajib menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul secara musyawarah atau jika terjadi perselisihan diselesaikan melalui arbitrase bukan peradilan umum,” beber Supriyadi dalam diskusi publik “Stop! Pelanggaran UU Arbitrase” di Hotel Bidakara, Jakarta, medio Maret lalu. Atas dasar kontrak itu, seharusnya PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengurusi gugatan yang diajukan GSEI kepada PHE RT.
GSEI mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dan mengklaim
ganti rugi atas kegiatan sole risk alias
PHE RT dianggap tidak mau menanggung resiko terkait perjanjian kerja sama. “Kegiatan
sole risk yang didalilkan GSEI dalam
gugatannya sebenarnya tidak pernah terjadi dan mengada-ada, karena GSEI
mengklaim biaya eksplorasi dan pengeboran yang dikeluarkan GSEI pada masa
eksplorasi di mana biaya tersebut menjadi kewajiban GSEI seluruhnya,” terang
Supriyadi.
Mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga menyayangkan pelanggaran atas UU Arbirtrase dengan terjadinya penanganan oleh pengadilan umum terhadap suatu sengketa yang sudah disepakati diselesaikan lewat arbitrase. “Hakim jangan pura-pura tidak tahu. UU kan sudah jelas melarang mereka menangani sengketa, yang seharusnya ditangani badan arbitrase,” tegasnya. “Saya yakin, 99,99 persen bahwa keputusan pengadilan negeri akan dibatalkan di tingkat lebih tinggi. Alasannya sudah jelas, karena memang bertentangan dengan UU Arbitrase,” ucapnya.
Sementara menurut Guru Besar Hukum Internasional
Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, fenomena membawa sengketa arbitrase
ke pengadilan umum kerap terjadi karena merasa putusan arbitrase tidak
menguntungkan. “Sudah banyak kasus terjadi. Mereka sudah sepakat dengan
arbitrase tapi lari lagi ke pengadilan umum,” tuturnya. “Maka Indonesia sering
dibilang negara yang unfriendly terhadap
arbitrase,” tambah Hikmahanto. RH
“Dalam perjanjian kontrak kerja sama antara PHE RT dan GSEI pasal 11.1.2 PSC disebutkan bahwa para pihak wajib menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul secara musyawarah atau jika terjadi perselisihan diselesaikan melalui arbitrase bukan peradilan umum,” beber Supriyadi dalam diskusi publik “Stop! Pelanggaran UU Arbitrase” di Hotel Bidakara, Jakarta, medio Maret lalu. Atas dasar kontrak itu, seharusnya PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengurusi gugatan yang diajukan GSEI kepada PHE RT.
Mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga menyayangkan pelanggaran atas UU Arbirtrase dengan terjadinya penanganan oleh pengadilan umum terhadap suatu sengketa yang sudah disepakati diselesaikan lewat arbitrase. “Hakim jangan pura-pura tidak tahu. UU kan sudah jelas melarang mereka menangani sengketa, yang seharusnya ditangani badan arbitrase,” tegasnya. “Saya yakin, 99,99 persen bahwa keputusan pengadilan negeri akan dibatalkan di tingkat lebih tinggi. Alasannya sudah jelas, karena memang bertentangan dengan UU Arbitrase,” ucapnya.
PHE RT Anggap Putusan PN Jakarta Pusat Langgar UU Arbitrase
Reviewed by OG Indonesia
on
Selasa, Maret 31, 2015
Rating: