Mendorong Kemajuan Menuju Kesetaraan: Bagaimana Indonesia Dapat Menutup Kesenjangan Gender di Sektor Energi
Oleh: Laksmita Dwi Hersaputri, Research Associate, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA)
Disclaimer: Pendapat yang disampaikan sepenuhnya merupakan pandangan penulis dan tidak dapat dianggap sebagai pernyataan resmi dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).
Sejak Revolusi Industri, batu bara dan bahan bakar fosil telah menjadi sumber utama energi dunia. Namun, proses ekstraksi dan pengelolaan energi ini membutuhkan tenaga fisik yang besar, serta sering kali dilakukan di tempat yang terpencil dan berisiko tinggi. Hal ini menjadikan sektor energi lebih banyak didominasi oleh laki-laki. Ketimpangan gender yang telah mengakar ini terus mempengaruhi peran perempuan di industri energi.
Wanita menyumbang 40% dari tenaga kerja global, tetapi keterwakilan mereka di sektor energi masih sangat rendah. Di industri minyak dan gas, keterlibatan perempuan masih terbatas, hanya mencapai 22%, sementara di sektor energi terbarukan sedikit lebih tinggi, yaitu 32%. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di tingkat kepemimpinan.
Indonesia menghadapi tantangan serupa. Meskipun perempuan mencakup 40% dari total tenaga kerja, hanya sekitar 20%–30% yang berkarier di perusahaan energi besar maupun di Kementerian Energi. Di badan legislatif yang mengawasi sektor ini, seperti Komisi VII DPR, keterwakilan perempuan bahkan lebih rendah, hanya 17%. Angka-angka ini mencerminkan masih minimnya peran perempuan, terutama dalam bidang teknis dan pengambilan keputusan di sektor energi.
Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, seperti ekspektasi bahwa perempuan akan berhenti bekerja setelah cuti melahirkan, kurangnya kebijakan dan fasilitas yang mendukung keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi, serta terbatasnya akses ke pelatihan teknis dan peluang karier lainnya.
Perempuan di sektor energi masih menghadapi banyak tantangan untuk mencapai posisi kepemimpinan. Secara historis, jabatan eksekutif umumnya didominasi oleh laki-laki, tidak terkecuali di perusahaan milik negara yang bergerak di sektor energi, seperti PT Pertamina dan PT PLN, yang secara historis hanya memiliki sedikit direktur utama perempuan. Hingga kini, Indonesia belum pernah memiliki menteri energi perempuan, tidak seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina. Kurangnya figur perempuan di posisi kepemimpinan semakin memperkuat anggapan bahwa sektor energi masih didominasi oleh laki-laki.
Laporan Global Gender Gap Report 2024 dari World Economic Forum menempatkan Indonesia di peringkat ke-100 dari 146 negara dan ke-6 di antara 10 negara ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender masih menjadi tantangan yang belum teratasi.
Islandia, yang menempati peringkat pertama secara global, menunjukkan bagaimana kebijakan pemerintah yang kuat dapat mendorong kesetaraan gender. Beberapa langkah utama yang diterapkan mencakup Undang-Undang Perlakuan Setara di Pasar Kerja (2018) dan Undang-Undang Kesetaraan Status dan Hak Tanpa Memandang Gender (2020). Kerangka hukum yang tegas, seperti sertifikasi wajib untuk kesetaraan upah, serta keberadaan badan khusus—Directorate of Equality di bawah Kementerian Sosial dan Tenaga Kerja—telah berperan besar dalam meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja, menyediakan data gender yang komprehensif, mempersempit kesenjangan upah, dan mendorong keterwakilan perempuan hingga 36% dalam posisi pengambilan keputusan.
Di ASEAN, Filipina menempati peringkat tertinggi dalam indeks kesetaraan gender di tempat kerja dan peringkat kedua dalam transparansi data, termasuk statistik gender. Perempuan di negara ini menduduki 20%–30% posisi eksekutif di perusahaan energi besar serta 41% posisi manajemen senior dan menengah di berbagai sektor. Keberhasilan ini didukung oleh kebijakan yang berorientasi pada kesetaraan gender, seperti Gender Appropriations Act (1995), yang mewajibkan alokasi minimal 5% dari anggaran nasional untuk mendukung kesetaraan gender, serta Magna Carta for Women (2010), yang bertujuan mengatasi diskriminasi gender dan memperkuat pengumpulan data terkait gender.
Selain itu, berbagai inisiatif seperti Gender Equality and Power Empowerment Plan (2019–2025) dan Gender Toolkit for the Energy Sector semakin memperluas kesempatan perempuan untuk berpartisipasi di sektor energi, bidang STEM, dan dunia kerja secara keseluruhan.
Di sisi lain, Indonesia masih belum memiliki regulasi dan mekanisme penegakan hukum yang kuat dalam mendorong kesetaraan gender. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) memang mencantumkan tujuan terkait inklusivitas dan pemberdayaan perempuan, namun rencana tersebut belum disertai dengan strategi konkret dalam pengimplementasiannya.
Selain itu, keterbatasan data terkait gender turut menghambat upaya perbaikan di sektor ini. Untuk mengatasinya, Indonesia perlu menyusun regulasi yang lebih jelas serta membentuk direktorat khusus kesetaraan gender di sektor energi guna memastikan kebijakan yang lebih terarah, pengumpulan data yang lebih akurat, dan mekanisme penegakan aturan yang lebih efektif.
Isu gender di sektor energi bukan hanya tentang keterwakilan tenaga kerja, tetapi juga mencerminkan permasalahan sistemik yang membatasi peluang karier dan peran perempuan dalam pengambilan keputusan. Padahal, sebagai pengelola utama energi dalam rumah tangga, perempuan memiliki wawasan berharga tentang bagaimana penggunaan energi memengaruhi kehidupan sehari-hari dan komunitas. Perspektif ini sangat krusial dalam merancang kebijakan transisi energi yang lebih inklusif, terutama di sektor-sektor seperti pendidikan dan kesehatan, di mana akses energi berperan langsung dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, perempuan juga memiliki peran penting sebagai konsumen energi yang cerdas dan berkelanjutan, baik di tingkat rumah tangga, dunia usaha, maupun kebijakan publik. Studi dari International Finance Corporation menunjukkan bahwa perusahaan dengan kepemimpinan yang lebih beragam secara gender mengalami peningkatan kinerja, inovasi, dan keselamatan kerja. Oleh karena itu, memastikan partisipasi aktif perempuan dalam transisi energi bukan sekadar isu kesetaraan, tetapi juga langkah strategis yang dapat mendorong kebijakan yang lebih efektif, memperkuat daya saing bisnis, dan memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
Slogan "Leave No One Behind" mencerminkan komitmen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Namun, hingga tahun 2025, keterwakilan perempuan masih tergolong rendah di berbagai sektor, termasuk namun tidak terbatas pada industri energi. Untuk mewujudkan kesetaraan gender dan inklusi yang lebih luas, diperlukan langkah-langkah konkret dan komitmen yang lebih kuat di semua bidang.
Tulisan ini dipersembahkan untuk Hari Perempuan Internasional 2025 sebagai penghormatan terhadap ketangguhan dan semangat juang perempuan di seluruh dunia. Kini saatnya Indonesia mengambil langkah nyata dan berkelanjutan untuk menciptakan masa depan yang lebih inklusif dan setara, tidak hanya di sektor energi, tetapi juga di berbagai aspek kehidupan.
