Penulis: Ryan Wiratama Bhaskara (Research Associate, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia/ERIA), dan Gusti Sidemen (CCS/CCUS Fellow, ERIA)
Disclaimer: Pandangan yang diungkapkan sepenuhnya merupakan pandangan penulis dan tidak boleh dianggap sebagai pernyataan resmi Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).
Teknologi Carbon Capture, Utilisation, and Storage (CCUS) atau Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon, memainkan peran penting dalam upaya global untuk mengurangi perubahan iklim. Kini, teknologi ini merupakan satu-satunya solusi pengurangan emisi yang layak untuk industri seperti baja, kimia, dan semen. CCUS menangkap emisi CO2 dari industri-industri ini, mengangkut emisi tersebut ke fasilitas penyimpanan yang dibangun di saline aquifers domestik/luar negeri atau reservoir yang telah terkuras.
Di bawah pemerintahan mantan Presiden Joko Widodo, Indonesia menetapkan target ambisius untuk menjadikan negara ini sebagai International CCUS Hub alias pusat CCUS internasional, karena negara ini diberkahi dengan kapasitas penyimpanan CO2 yang substansial. Sebagai CCUS Hub, Indonesia dapat menyediakan layanan untuk menyimpan emisi CO2 dari luar negeri seperti Jepang, Korea Selatan, Cina, Taiwan, dan Singapura, yang tidak memiliki atau memiliki kapasitas penyimpanan terbatas.
Dengan model bisnis yang tepat, CCUS Hub dapat meningkatkan kelayakan ekonomi dari proyek-proyek tersebut. Lebih jauh lagi, dengan memanfaatkan pasar karbon regional, inisiatif-inisiatif ini siap menghasilkan keuntungan yang berkelanjutan.
Menurut studi tahun 2024 oleh ERIA, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas (Lemigas), Indonesia berpotensi menyimpan 69 gigaton (Gt) CO2 di saline aquifers, 680,57 Gt CO2 di saline aquifers yang lebih dalam, dan 10,14 Gt di reservoir minyak bumi yang sudah terkuras. Dua dari 15 proyek CCUS yang diumumkan oleh pemerintah Indonesia dianggap prospektif untuk pengembangan hub internasional yaitu Cekungan Sunda–Asri dan Lapangan Ubadari.
Cekungan Sunda–Asri, saline aquifers yang terletak di Laut Jawa Barat ini memiliki kapasitas penyimpanan 3 Gt CO2. Pertamina dan ExxonMobil tengah mencari mitra untuk mengembangkan hub ini. Sementara proyek CCUS Ubadari merupakan bagian dari pengembangan kilang LNG Tangguh Train III, telah mendapatkan investasi senilai US$7 miliar dari BP. BP juga tengah mencari mitra luar negeri untuk bekerja sama memanfaatkan penyimpanan tersebut, yang kapasitasnya mencapai 1,8 Gt CO2. Saat ini, baru 35 juta ton emisi CO2 dari kilang LNG yang telah dialokasikan untuk penyimpanan tersebut.
Menyadari potensi manfaat yang luar biasa bagi negara, pemerintah Indonesia telah secara ketat menetapkan kerangka regulasi yang diperlukan untuk pengembangan CCUS. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 2 Tahun 2023 menjadi landasan bagi penerapan CCUS dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Lebih lanjut, Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2024 menjabarkan kerangka kerja untuk kegiatan CCS dan CCUS, termasuk ketentuan penyimpanan karbon dan transportasi CO2 lintas batas.
Untuk mendukung penerapan CCUS di sektor migas, SKK Migas – atau Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi – merilis pedoman teknis pengembangan proyek CCUS (PTK-070). Pada Desember 2024, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.16 Tahun 2024, yang merinci mekanisme CCS dalam wilayah perizinan, yang menetapkan areal khusus yang diperuntukkan bagi penyimpanan CO2 dari penghasil emisi dengan basis biaya.
Namun, ambisi Indonesia untuk menjadi hub CCUS internasional tampaknya masih jauh dari kenyataan, setidaknya dalam waktu dekat. Kerangka regulasi saat ini belum memberikan insentif kepada mitra luar negeri untuk berinvestasi dalam penyimpanan CO2 di hub tersebut – meskipun prospeknya menjanjikan – yang menyebabkan Indonesia tertinggal dari tetangganya, Malaysia.
Dari sembilan proyek CCS lanjutan yang diumumkan Jepang untuk tahun fiskal 2024, tiga proyek direncanakan akan mulai beroperasi pada tahun 2030. Negara tersebut telah memilih Semenanjung Utara, Semenanjung Selatan, dan lepas pantai Sarawak di Malaysia sebagai lokasi penyimpanan. Demikian pula, Korea Selatan tengah mempertimbangkan pemanfaatan penyimpanan karbon di Malaysia pada tahun 2028. Selain itu, PETRONAS Malaysia telah menandatangani perjanjian dengan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang dan Japan Organization for Metals and Energy Security (JOGMEC) untuk berkolaborasi dalam mewujudkan proyek CO2 dan CCUS lintas batas.
Beberapa faktor dapat menjadi penyebab tantangan Indonesia dalam menarik mitra luar negeri. Regulasi yang ada saat ini hampir tidak cukup untuk mencakup proyek CCUS lintas batas, karena regulasi tersebut terutama membahas masalah teknis dan manajemen, terutama di lokasi penyimpanan. Regulasi yang mengatur seluruh rantai nilai pengelolaan karbon sangat dibutuhkan. Misalnya, kerangka kerja tentang bagaimana proyek CCUS akan diperlakukan dalam Sistem Registrasi Nasional, yang penting untuk mendaftarkan proyek di pasar karbon Indonesia, saat ini belum ada.
Selain itu, Indonesia belum mengambil langkah proaktif dalam mengembangkan perjanjian atau pengaturan bilateral untuk proyek CCS lintas batas. Masalah lainnya adalah bahwa mekanisme insentif Indonesia saat ini untuk investasi CCUS masih kurang jelas dan kurang kompetitif dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Untuk menarik investasi sebagai hub CCUS internasional, Indonesia harus mempertimbangkan beberapa strategi berikut:
1. Memperkuat Kapasitas Kelembagaan: Berinvestasi dalam membangun lembaga yang kuat yang mampu menerapkan dan menegakkan regulasi CCUS secara efektif. Ini termasuk pelatihan personel, penyederhanaan prosedur administratif, dan memastikan koordinasi antarlembaga.
2. Meningkatkan Insentif: Mengembangkan insentif fiskal yang jelas dan menarik, seperti keringanan pajak, subsidi, atau kredit karbon, untuk membuat proyek CCUS layak secara finansial bagi investor. Mengintegrasikan kerangka kerja dengan pasar karbon yang sudah mapan juga penting, dan belajar dari pendekatan negara lain dapat memberikan wawasan yang berharga.
3. Memastikan Stabilitas Regulasi: Berkomitmen pada stabilitas kebijakan jangka panjang dengan meminimalkan perubahan regulasi yang tiba-tiba dan melibatkan pemangku kepentingan dalam pengembangan kebijakan. Lingkungan regulasi yang stabil menumbuhkan kepercayaan investor dan perencanaan jangka panjang.
4. Mempromosikan Kolaborasi Internasional: Secara aktif mencari kemitraan dengan pemerintah asing dan organisasi internasional untuk berbagi praktik terbaik, mengakses pendanaan, dan meningkatkan kemampuan teknologi di CCUS.
Hanya dengan upaya serius dalam meningkatkan kondisi prasyarat, ambisi Indonesia dapat menjadi kenyataan. Keberhasilan negara dalam mengembangkan hub internasional akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya global dalam memerangi perubahan iklim.
