Jakarta, OG Indonesia -- Pembiayaan oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC) ke sejumlah proyek gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di seluruh dunia dinilai berdampak pada lingkungan dan masyarakat. Di Indonesia, Proyek LNG Donggi-Senoro di Banggai, Sulawesi Tengah, menyebabkan hasil panen dan tangkapan nelayan berkurang signifikan.
Hal ini terungkap dalam laporan “Faces of Impact: JBIC dan Japan's LNG Financing Harms Communities and the Planet” yang disusun koalisi organisasi masyarakat sipil, diantaranya Friends of Earth Japan, Oil Change International, Australia Conservation Foundation, Greenpeace, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Mengacu laporan tersebut, sejak 2016 atau setelah disepakatinya Perjanjian Paris, JBIC telah mengucurkan dana hingga US$ 18,6 miliar untuk ekspansi proyek gas. Angka ini empat kali lebih besar dari kontribusi Jepang untuk Green Climate Fund, sebuah mekanisme pembiayaan yang membantu negara berkembang untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Tak hanya itu, meski negara-negara G7 telah berkomitmen mengakhiri pendanaan proyek energi fosil mulai akhir 2022, JBIC masih menyediakan dana untuk proyek energi kotor ini hingga US$ 3,9 miliar.
Salah satu proyek yang didanai JBIC yakni Proyek LNG Donggi-Senoro senilai US$ 1 miliar yang berlokasi di Desa Uso, Banggai. Proyek tersebut ditemukan telah membatasi daerah pancing nelayan, serta mengurangi kualitas dan kuantitas tangkapan ikan. Hal yang sama juga terjadi pada panen kelapa, pisang, jagung, dan cabai di desa ini.
“JBIC telah mendanai proyek LNG Donggi Senoro yang berdampak pada masyarakat dan lingkungan. Nelayan telah mengalami penurunan pendapatan yang signifikan, bahkan kadangkala turun hingga sepersepuluh dari sebelumnya, karena pengembangan proyek LNG dan pembatasan wilayah tangkap nelayan ke perairan sekitar. Selain itu, berbagai hasil tani juga terpengaruh oleh emisi yang dikeluarkan oleh kilang LNG,” kata Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi Nasional.
Padahal, sebelum Proyek LNG Donggi-Senoro dibangun, masyarakat sekitar mampu mengelola perekonomian mereka secara mandiri. Sebelumnya mereka dapat dengan mudah menangkap ikan cakalang hanya dengan memasang rumpon atau alat bantu penangkapan ikan, di pesisir lokasi Proyek LNG Donggi Senoro. Kini, nelayan setempat dilarang untuk menangkap ikan di lokasi tersebut.
Berbagai dampak tersebut memaksa masyarakat menuntut kompensasi dan pekerjaan dari pengelola proyek. Namun, tak hanya menolak memberikan kompensasi, janji untuk memprioritaskan masyarakat setempat untuk bekerja di Proyek LNG Donggi-Senoro pun tidak mencukupi. Dari total 570 pekerja di proyek tersebut, 90 pekerja berketerampilan berasal dari luar Sulawesi Tengah dan 480 pekerja tanpa keterampilan dari Batui dan sekitarnya. Akan tetapi, hanya 25-30 warga Desa Uso yang dipekerjakan terkait proyek tersebut sebagai pekerja tidak tetap melalui subkontraktor, yakni sebagai petugas keamanan dan kebersihan.
Kondisi serupa terjadi di proyek-proyek LNG yang didanai JBIC di seluruh dunia. Di Bangladesh misalnya, Proyek PLTG Meghnaghat membuat masyarakat setempat kehilangan mata pencaharian karena turunnya populasi ikan, dan membebani Bangladesh dengan harga listrik tinggi. Di Thailand, PLTG Gulf SRC dan Gulf Pluak Daeng membuat warga kehilangan sumber penghidupan dan rusaknya keanekaragaman hayati. Di Filipina, Terminal Impor LNG AG&P Linseed melanggar regulasi polusi air dan lingkungan, serta membuat warga direlokasi.
“Pemerintah Jepang dan JBIC terus mendanai proyek-proyek gas baru di seluruh dunia dengan klaim bahwa mereka akan mendorong pembangunan. Namun, seperti yang ditunjukkan dengan jelas dalam laporan ini, kenyataannya justru sebaliknya. Masyarakat menghadapi dampak kesehatan yang parah, hilangnya mata pencaharian, menurunnya keanekaragaman hayati laut, meningkatnya biaya listrik, dan bahkan ancaman keamanan maupun tantangan-tantangan lainnya. Jepang dan JBIC harus secara terbuka berkomitmen untuk tidak lagi mendanai proyek-proyek gas fosil baru tanpa pengecualian,” tegas Hiroki Osada, Juru Kampanye Friends of the Earth Jepang.
“JBIC telah menggelontorkan dana US$ 18,6 miliar untuk pembiayaan gas sejak Perjanjian Paris. Jepang jelas memiliki cukup banyak dana yang dapat dialihkan untuk mendukung penghapusan bahan bakar fosil secara komprehensif, cepat, dan adil. Sudah saatnya negara-negara kaya seperti Jepang membayar dan bertanggung jawab atas kontribusinya terhadap krisis iklim alih-alih melanjutkan ekspansi gas yang memperburuk perubahan iklim serta merugikan masyarakat dan ekosistem,” kata Makiko Arima, Juru Kampanye Senior Oil Change International (OCI). RH