Riki. F. Ibrahim memaparkan sejumlah alasan kenapa skema power wheeling dalam RUU EBET harus ditolak.
Foto: Ridwan Harahap
Jakarta, OG Indonesia -- Riki F. Ibrahim, Dirut GeoDipa Energi (2016-2022) yang juga Dosen program S2 Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada menjelaskan penolakannya kepada pasal power wheeling dalam RUU EBET (Energi Baru Energi Terbarukan).
"Dengan dibukanya kesempatan pemanfaatan bersama jaringan (Permen ESDM No.01/2015), namun bukan berarti “Power Wheeling” diperbolehkan dalam RUU EBET," tegas Riki dalam diskusi bertajuk "Tolak Penerapan Skema Power Wheeling Dalam RUU EBET!" yang diselenggarakan oleh IRESS di Jakarta, Selasa (3/9/2024).
Riki memberi alasan kenapa skema power wheeling harus ditolak. Pertama, terjadinya disparitas harga listrik yang lebih mahal dari apa yang telah diregulasikan oleh Pemerintah, akan mengakibatkan permasalahan baru yang dapat merugikan pemasukan negara,
Kedua, memerlukan kesiapan PLN dan PIUPL Terintegrasi sebagai pemilik dan pengelola jaringan (pertumbuhan beban dan jaringan),
Dia juga membeberkan permasalahan teknis batasan Kapasitas Jaringan 80%; Permasalahan gangguan (Tegangan, Stabilitas Frekuensi, Harmonisasi, Susut Jaringan, mengakibatkan kenaikan losses, dan lain sebagainya); Permasalahan model perhitungan komponen sewa (biaya) yang berkeadilan (metoda menentukan charge untuk Power Wheeling), dan Permasalahan Grid Code dan Distribution Code yang saat ini masih perlu dianalisa lebih detail.
Riki juga menjelaskan manfaat serta mudarat dari power wheeling untuk Indonesia yang harga listrik energi terbarukan yang akan berbeda dengan harga listrik yang ditentukan oleh Pemerintah itu, “Akan menghilangkan kesempatan pihak PLN menjual listriknya kepada pihak pembeli sebagai konsumen”.
Apalagi pihak pembeli berada dalam wilayah usaha PLN maka layak untuk PLN yang menjual listriknya dan bukan pihak lain. "Power wheeling diperkenankan hanya untuk Pembangkit/penjual ET dan pihak pembelinya itu dalam satu badan usaha sehingga 'tidak terjadi pasar bebas'. Power wheeling malahan memicu terjadinya power trading dalam wilayah usaha PLN. Terkecuali, tidak ada PLN pada kawasan pihak pembeli listriknya itu, maka pihak Pembangkit/penjual ET dapat menjual kepada pihak pembelinya," bebernya.
Dia menjelaskan, secara alamiah PLN akan memprioritaskan pembangkitan sendiri (atau IPP yang sudah kontrak TOP dengan PLN) dan memprioritaskan kepada konsumennya sendiri.
"Power wheeling bukan prioritas bagi sistem operasi pihak PLN, dan pelaku power wheeling sewaktu-waktu dapat diputus. Biaya kerusakan pada sistem Jaringan dan Distribusi PLN juga akan menjadi pengurangan pemasukan PLN kepada Negara dan bahkan memungkinkan melonjaknya angka PMN karena untuk menjadikan sistem Grid dan Distribusi PLN yang lebih canggih di seluruh Indonesia," papar Riki.
Riki juga menguraikan, umumnya pada Pasar Bebas Kompetisi maka:
- Open access transmisi bersifat “non-discriminatory” agar membuat kompetisi antar para pembangkit/penjual ET, dan non ET satu dengan lainnya berjalan baik,
- Pembangkit/penjual ET, non ET dapat jual-beli listrik langsung sesuai demand,
- Memiliki koordinasi yang canggih antara para pembangkit/penjual ET yang tersebar dan aset transmisinya, untuk memenuhi demand yang tersebar secara least cost,
- Namun harga jual listrik kepada konsumen jadi tinggi (tambah mahal) karena memasukan biaya pengaturan dan pemeliharaan transmisi.
"RUU EBET tidak membuka Pasar Bebas karena Pasar Bebas tidak berlaku untuk Indonesia karena dalam UU 30/2009 dan PP 14/2012 terdapat regulasi mengenai wilayah usaha yang melarang penjualan listrik oleh pihak di luar pemegang wilayah usaha," ucapnya.
Oleh karena itu Riki menyampaikan kesimpulannya bahwa RUU EBET yang memaksa sistem pemanfaatan yang berintegrasi untuk terbuka akan memberikan beban pada sistem pemanfaatan yang menjalankan fungsi koordinasi dan pengiriman listrik yang ekonomis saat ini. "Pemaksaan Power Wheeling dalam RUU EBET dapat merugikan Negara," tegasnya.
Diterangkan olehnya, disparitas harga listrik yang lebih mahal lagi dari apa yang telah diregulasikan oleh Pemerintah untuk ET, kelak akan mengakibatkan ketidakpastian usaha dan menimbulkan permasalahan baru yang dapat merugikan Negara. "Berubah-ubah kebijakan harga listrik yang ditentukan oleh satu sistem yang bukan pasar kompetitif, akan menjadi ketidakpastian berbisnis," terangnya.
Sebagai rekomendasinya, Riki yang juga Dewan Pengawas METI periode 2022-2025 menyampaikan bahwa RUU EBET sebaiknya fokus pada pemberian insentif fiskal yang diperluas dan diperbesar agar energi terbarukan dapat berkembang cepat di Indonesia.
"Karena terbukti bahwa insentif yang telah diberikan oleh Pemerintah melalui Kementerian Keuangan itu belum menjadikan Perpres 112/2022 Tentang Percepatan Pengembangan ET untuk Penyediaan Tenaga Listrik sebagai regulasi percepatan yang andal," tutur Riki.
Dia juga mengatakan, RUU EBET harus sejalan dengan Putusan MK 2004 dalam arti yang luas bahwa ketika ada pembenahan dalam tata kelola urusan ketenagalistrikan, maka pembenahan yang dilakukan haruslah memperkuat penguasaan negara untuk dapat melaksanakan kewajiban konstitusionalnya, sebagaimana disebut dalam Pasal 33 UUD 1945. RH