Vientiane, OG Indonesia -- ERIA, bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Pertambangan Laos, sukses menggelar 7th East Asia Energy Forum di Vientiane. Dengan tema ‘Energy Policy Directions for Inclusive and Sustainable Development for ASEAN,’ forum ini dihadiri oleh para ahli energi dari berbagai negara ASEAN untuk membahas kebijakan keamanan energi yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
Tetsuya Watanabe, Presiden ERIA, menjelaskan bahwa forum ini merupakan wadah untuk berbagi solusi menghadapi tantangan energi global. "Ini adalah kesempatan bagi negara-negara ASEAN untuk bekerja sama dan merumuskan kebijakan yang mendukung keberlanjutan energi di skala regional," ungkapnya.
Menteri Energi dan Pertambangan Laos, Phoxay Sayasone, membuka forum dengan menekankan pentingnya kerja sama regional. "Untuk menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim sambil tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, kerja sama di semua tingkat sangat penting agar ASEAN bisa mewujudkan keamanan energi dan masa depan yang lebih berkelanjutan," katanya.
Han Phoumin, Ekonom Energi Senior di ERIA, mempresentasikan makalah tentang kebijakan energi yang menekankan pentingnya peralihan cepat ke teknologi bersih dan energi terbarukan. Ia menjelaskan, "Dengan meningkatnya biaya dan permintaan energi, sangat penting bagi negara-negara di kawasan ini untuk mengadopsi teknologi bersih dan memanfaatkan energi terbarukan."
Han Phoumin juga menambahkan menambahkan bahwa penerapan teknologi ramah lingkungan, pengembangan pasar energi terintegrasi di kawasan, dan pembiayaan yang berkelanjutan adalah kunci untuk mencapai keamanan energi dan netralitas karbon
Forum ini membahas beberapa isu penting, termasuk keamanan pasokan energi, akses ke energi, dan pengembangan energi terbarukan. Diskusi berfokus pada cara negara-negara ASEAN untuk meningkatkan ketahanan energi melalui diversifikasi sumber energi dan penguatan infrastruktur yang ada.
Di Indonesia, diversifikasi bauran energi menjadi prioritas utama, khususnya melalui pemanfaatan sumber energi terbarukan seperti energi hidro dan geotermal (panas bumi). Dengan potensi geotermal sekitar 23 gigawatt dan 4.400 sungai yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan tenaga hidro, Indonesia memiliki peran penting dalam pengembangan energi terbarukan di ASEAN.
Dengan potensi energi surya, angin, dan biomassa yang besar, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energinya. Integrasi sumber-sumber ini dengan ASEAN Power Grid diharapkan dapat memperkuat keamanan dan keberlanjutan energi.
ASEAN berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon pada 2050. Namun, pertumbuhan populasi dan ekonomi menyebabkan permintaan energi terus meningkat. Sebagian besar pembangkit listrik diperkirakan akan mulai menggunakan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) pada 2030. Namun, batu bara dan gas masih akan menyumbang lebih dari 40% terhadap total bauran energi karena banyak pembangkit berbahan bakar batu bara masih yang masih relatif muda dan berada pada tahap operasional awal.
Meningkatnya permintaan listrik dan urgensi mengurangi emisi gas rumah kaca mengharuskan negara-negara ASEAN untuk melakukan investasi besar dalam energi terbarukan dan pengembangan jaringan listrik. Salah satu langkah penting adalah mengembangkan ASEAN Power Grid agar bisa memenuhi permintaan tenaga listrik dengan biaya yang lebih rendah.
Selain itu, peralihan ke energi bersih juga sangat bergantung pada penerapan teknologi jaringan listrik cerdas atau smart grid technologies, seperti pemantauan langsung dan analisis prediksi menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Pendanaan untuk pengembangan teknologi ramah lingkungan juga sangat penting untuk menciptakan sistem energi yang lebih berkelanjutan. Forum ini membahas bagaimana kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta bisa diperkuat untuk mendanai pengembangan teknologi baru, serta bagaimana cara mengurangi risiko di seluruh proses pengembangan teknologi tersebut.
Pengembangan energi terbarukan yang berkelanjutan juga menjadi fokus utama forum ini. Negara-negara di wilayah Mekong (seperti Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Viet Nam) serta negara ASEAN lain, termasuk Indonesia dan Malaysia, memiliki potensi besar dalam energi air dan biomassa. Potensi ini bisa dimaksimalkan dengan meningkatkan koneksi energi dan perdagangan di seluruh kawasan.
Diskusi juga menekankan pentingnya efisiensi energi di berbagai sektor, peran inovasi dalam mengurangi penggunaan energi, dan pengembangan kendaraan listrik (EV). Di Indonesia, sebagai upaya untuk mengurangi emisi karbon dan ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemerintah tengah mendorong penggunaan kendaraan listrik dengan menargetkan 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit kendaraan listrik roda dua untuk mengaspal pada 2030.
Forum ini juga membahas pentingnya memperkuat lembaga yang menangani cadangan energi dan situasi darurat. ASEAN Petroleum Security Agreement (APSA) dianggap sebagai solusi utama meskipun saat ini belum berjalan karena kurangnya pedoman dan peran yang jelas. Jika berhasil diterapkan, APSA dapat memperkuat kerja sama energi di ASEAN.
Dalam 7th East Asia Energy Forum, ASEAN menegaskan komitmennya untuk menghadapi tantangan energi global dengan solusi yang berkelanjutan dan berbasis kerja sama. Forum ini juga memberikan panduan penting bagi negara-negara anggota dalam menyusun kebijakan yang lebih efektif dan inovatif. RH