Jakarta, OG Indonesia -- Rencana PT Adaro Energy Indonesia (Tbk) menjual unit tambang batu bara thermal dengan harga US$2,5 miliar, dapat mengubah citra produsen batu bara terbesar kedua di Indonesia tersebut. Namun, apakah langkah tersebut sebuah lompatan besar menuju model bisnis yang lebih hijau atau sekadar permainan strategi untuk memperbaiki citra perusahaan?
Sejak isu muncul pada 2021, keputusan Adaro untuk akhirnya melepas (spin off) bisnis batu baranya menjadi titik penting dalam lanskap energi Indonesia, mengirimkan sinyal kuat baik ke pasar domestik maupun internasional. "Untuk perusahaan yang meraup laba dari batu bara, langkah ini menunjukkan bahwa pemain batu bara paling mapan Indonesia pun juga merasakan tekanan transisi energi global," kata Christina Ng, Managing Director Energy Shift Institute, Rabu (18/9/2024).
Meskipun penjualan saham tersebut dikemas sebagai upaya menyelaraskan dengan tren global, langkah Adaro ini akan menghadapi pengawasan ketat, terutama karena pelepasan kepemilikan dilakukan melalui penawaran publik.
"Langkah ini menjadi peluang bagi Adaro untuk membuktikan komitmennya menuju bisnis yang lebih berkelanjutan dan menunjukkan kepemimpinan dalam divestasi yang bertanggung jawab. Bagaimana Adaro menjalankan penjualan saham ini akan menentukan narasi keberlanjutan perusahaan ke depannya," sambungnya.
Pengawasan Divestasi Batu Bara
Perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil berada dalam pengawasan ketat atas klaim 'hijau' mereka. Sebagai pengekspor batu bara thermal terbesar di dunia, Indonesia, termasuk Adaro, berada di bawah sorotan dunia.
Aksi spin off bisnis batu bara Adaro disinyalir untuk menarik basis investor baru, yakni investor yang fokus pada aspek keberlanjutan dan nilai jangka panjang masa depan rendah karbon. "Investor-investor ini tidak sekadar menginginkan aksi pelepasan operasi batu bara, yang cenderung dilihat sebagai gerakan simbolis dan pengabaian tanggung jawab. Investor ini menginginkan komitmen terhadap keberlanjutan yang sesungguhnya. Hal ini akan menjadi tantangan bagi Adaro," jelas Christina.
Menurutnya, penawaran publik membuka peluang bagi berbagai jenis pemegang saham, yang menambah kompleksitas pelepasan saham Adaro. Jika pembeli tidak berkomitmen mengurangi emisi, hal ini akan berdampak pada Adaro. Sebagai contoh, dampak negatif pernah dirasakan raksasa tambang Australia, Rio Tinto dan BHP, lantaran pelepasan bisnis batu bara mereka tidak menghasilkan pengurangan produksi batu bara, tetapi hanya mengalihkan beban emisi karbon ke perusahaan lain.
"Meski tidak dapat secara langsung mengendalikan siapa pembeli saham dalam penawaran publik tersebut, Adaro dapat mempengaruhi prosesnya. Adaro dapat membidik dan menarik minat investor dan institusi pendanaan yang memiliki komitmen ESG dan transisi energi, sebagai pembeli potensial. Langkah ini tidak hanya akan menyelaraskan penjualan saham dengan target yang lebih ramah lingkungan, tetapi juga membangun basis pemegang saham yang berkomitmen meminimalkan dampak lingkungan dari operasi tambang batu bara," bebernya.
"Divestasi yang bertanggung jawab menjadi kunci untuk mengamankan modal dan mitra yang diperlukan untuk membangun profil perusahaan yang lebih hijau atau ramah lingkungan," tambah Christina.
Menghindari Jebakan Greenwashing
Risiko terbesar yang dihadapi Adaro adalah greenwashing, yakni menjual aset batu bara namun menutup mata bagaimana aset tersebut akan dikelola. Jika pemilik baru lebih memprioritaskan laba daripada tanggung jawab iklim, profil keberlanjutan Adaro akan terdampak.
Untuk memitigasi ini, Adaro perlu mempertimbangkan langkah inovatif seperti menghubungkan penjualan dengan target iklim jangka pendek. Sebagai contoh, Adaro dapat memberikan diskon jika perusahaan baru, di bawah pemilik baru, mampu memenuhi target pengurangan emisi atau penghentian tambang batu bara bertahap (phaseout), mirip dengan konsep pembiayaan berkelanjutan.
"Meski jarang digunakan dan diuji coba dalam penawaran publik, pendekatan ini akan membantu Adaro menghindari narasi greenwashing dan memperkuat komitmen jangka panjangnya pada transisi energi Indonesia," tuturnya. "Langkah ini dapat mencegah munculnya persepsi bahwa Adaro hanya sekadar mengalihkan masalah," tambah Christina.
Strategi Pasca Divestasi Adaro
Penjualan aset batu bara hanyalah langkah awal. Hal yang paling penting yakni apa langkah Adaro selanjutnya. Sebagai raksasa batu bara yang telah mendiversifikasi bisnisnya, langkah Adaro terhadap bisnis-bisnis lain terkait batu bara, termasuk PLTU, dan bagaimana modal yang diperoleh akan diinvestasikan kembali, akan diawasi secara ketat oleh investor.
"Jika modal tersebut dikucurkan untuk proyek energi terbarukan, penyimpanan energi, atau mineral kritis seperti nikel dan aluminium yang sesuai standar keberlanjutan internasional, hal ini akan memperkuat pergeseran bisnis Adaro dari batu bara," terangnya.
Untuk menjaga kredibilitas, Adaro perlu membuat peta jalan pascadivestasi yang jelas, misalnya menetapkan langkah terukur untuk mencapai target setengah pendapatan dari bisnis non-batu bara pada 2030. Dengan menetapkan target jangka pendek dan merinci bagaimana penjualan saham akan menopang investasi hijaunya, pemegang saham akan dapat melacak langkah Adaro. Transparansi ini akan menjadi kunci bagi Adaro menjaga kepercayaan investor dan memperkuat profil pembiayaan berkelanjutannya.
Momen Penentu Strategi Hijau Adaro
Pada akhirnya, bagaimana Adaro menangani spin off aset batu baranya ini akan menentukan peran Adaro dalam transisi energi Asia Tenggara. Langkah ini bukan sekadar melepas bisnis batu bara, tetapi menunjukkan kepemimpinan di sektor batu bara untuk bergerak ke model bisnis yang lebih hijau dan berkelanjutan.
"Jika Adaro menjalankan aksinya dengan benar -dengan menyelaraskan penjualan saham dengan target iklim atau penghentian bertahap batu bara, dan meningkatkan ambisi energi hijaunya hingga dua kali lipat- Adaro dapat menjadi pelopor pergerakan regional ke energi yang lebih bersih," paparnya. "Penjualan saham ini bukan hanya transaksi finansial, namun juga ujian penentu bagi komitmen keberlanjutan Adaro," pungkas Christina. RH