Jakarta, OG Indonesia -- Kebijakan pemerintah yang melarang ekspor mineral mentah dan memberikan insentif untuk investasi industri peleburan logam (smelter) dikhawatirkan menggerus nilai tambah ekonomi dari hilirisasi nikel. Hal ini karena, kebijakan tersebut menyebabkan produksi berlebihan dan berujung pada jatuhnya harga produk olahan nikel. Selain itu, hilirisasi mineral masih menggunakan PLTU yang berpotensi menggagalkan program dekarbonisasi.
Hal tersebut diungkapkan dalam laporan terbaru Transisi Bersih bertajuk “Hilirisasi Industri Nikel, Nilai Tambah Ekonomi, dan Indonesia Bebas Emisi 2060”. Laporan ini mengungkap, kebijakan berlapis pemerintah untuk hilirisasi mineral menyebabkan investasi yang berlebihan (over investment) di industri smelter nikel. Kapasitas smelter nikel di Indonesia naik 15 kali lipat dalam tujuh tahun, dari 200 ribu ton feronikel pada 2016 menjadi 3.046 ribu ton pada 2023. Kapasitas ini masih akan naik lagi menjadi 5.568 ribu ton dalam beberapa tahun ke depan, mengingat saat ini ada 2.522 ribu ton kapasitas yang sedang dan akan dibangun.
Investasi yang berlebihan ini berdampak pada produksi yang berlebihan (over production). Berdasarkan data United States Geological Survey (USGS), produksi nikel Indonesia meningkat lebih dari 15 kali lipat dari 117 ribu ton pada 2014 menjadi 1,8 juta ton pada 2023. Volume produksi diperkirakan terus meningkat mengingat banyaknya smelter yang masih dalam masa konstruksi.
“Over investment dan over production ini akhirnya merusak keseimbangan pasar nikel dunia. Suplai melimpah dan harga turun. Nilai tambah ekonomi yang menjadi tujuan utama hilirisasi pun terancam turun. Berbagai pihak juga mulai mengkhawatirkan over eksploitasi yang akan menyebabkan cadangan nikel Indonesia habis lebih cepat,” kata Abdurrahman Arum, Direktur Eksekutif Transisi Bersih.
Selain itu, laporan ini juga menyebutkan, insentif tidak langsung lainnya seperti upah buruh murah dan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social and governance/ESG) yang rendah menyebabkan biaya produksi dalam negeri relatif murah. Hal ini secara tidak langsung juga mengurangi nilai tambah industri hilirisasi pada ekonomi nasional. Pasalnya, semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan asing untuk pelaku ekonomi lokal, seperti gaji karyawan lokal, pajak (pemerintah), biaya pengadaan subkontraktor lokal, dan biaya lainnya, adalah nilai tambah ekonomi lokal dan menambah kesejahteraan masyarakat lokal.
“Semakin besar porsi biaya perusahaan untuk pelaku ekonomi lokal, maka semakin besar nilai tambah ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Berbagai kebijakan hilirisasi seperti insentif untuk smelter, subsidi batu bara, upah buruh murah, standar lingkungan yang rendah, dan sebagainya justru menurunkan nilai tambah ekonomi industri smelter,” Anindya Athaya Putri, peneliti Transisi Bersih, menjelaskan.
Komitmen Pengurangan Emisi
Laporan ini juga menyoroti hilirisasi mineral yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi utama. Dampaknya, jumlah PLTU dibangun khusus untuk industri (captive) meningkat sangat pesat dari 1,4 gigawatt (GW) pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023, ditambah 14,4 GW yang akan dibangun dalam waktu dekat. Alhasil, akan ada PLTU captive mencapai 25,2 GW atau setara 72% dari kapasitas total PLTU 34,8 GW saat ini. PLTU captive akan menjadi lubang besar yang dapat menggagalkan program Indonesia bebas emisi.
“Program hilirisasi yang menggunakan energi batu bara tidak koheren dengan program bebas emisi. Ini seperti kita menguras air kolam, sementara pada saat yang sama kita mengisi kolam dengan air yang baru. Program hilirisasi dapat menggagalkan program bebas emisi yang berbiaya sangat mahal,” tutur Abdurrahman Arum.
“Untuk menyelaraskan dua program tersebut maka hilirisasi harus menggunakan energi bersih. Penggunaan energi bersih dan standar lingkungan yang lebih tinggi secara umum akan menaikkan biaya produksi dan akan menaikkan nilai tambah ekonomi industri nikel di Indonesia. Dengan menggunakan energi bersih, program hilirisasi justru akan membantu membiayai transisi energi di Indonesia,” tambah Harryadin Mahardika, Direktur Program Transisi Bersih.
Widya L Larasati, peneliti senior Transisi Bersih, menambahkan bahwa sebagai pemilik sumber daya yang dominan, pemerintah Indonesia secara alami memiliki kemampuan mengontrol pasokan dan harga nikel dunia untuk mendapatkan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Jika Indonesia mencabut insentif, menggunakan energi bersih serta menaikkan upah buruh, standar lingkungan hidup, dan ESG, yang kemudian mengakibatkan kenaikan biaya produksi nikel, maka pasar nikel dunia akan menyesuaikan.
“Pemerintah perlu mencabut insentif langsung/tidak langsung nikel dan memperbaiki isu lingkungan. Tidak perlu takut kehilangan investasi karena dengan melakukan itu maka nikel Indonesia bisa menjadi acuan nikel ‘bersih’ dunia. Dengan demikian isu negosiasi FTA (free trade agreement/perjanjian perdagangan bebas) dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa akan dapat segera diselesaikan,” kata Widya.
“Keinginan untuk membangun industri hilir dari SDA yang Indonesia miliki memang sebuah hal yang baik dan diperlukan untuk perekonomian Indonesia. Tetapi cara untuk mencapai tujuan tersebut harus diperhatikan, dikaji dan dihitung dengan seksama biaya dan keuntungannya. Dan itu tidak hanya benefit ekonominya saja, tapi juga termasuk biaya-biasa sosial dan lingkungannya,” kata Deni Friawan, Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS). RH