Jakarta, OG Indonesia -- Target Indonesia mencapai netral karbon (net-zero) di sektor ketenagalistrikan pada 2050 berpotensi meleset, sebabnya karena pemerintah akan membuka ladang gas baru untuk meningkatkan produksi. Sejak 2023, Indonesia kembali aktif mengeksplorasi cadangan minyak dan gas, dengan penemuan cadangan baru di Geng North-1 di Kalimantan Timur, dan Layaran-1 di lepas Pantai Sumatera Utara. Dua lokasi ini diperkirakan mengandung masing-masing 5 dan 6 triliun kaki kubik gas (tcf).
Kondisi di atas berkebalikan dengan skenario Just Energy Transition Partnership (JETP) yang memproyeksikan penggunaan gas turun secara perlahan hingga 2050, yakni 38,3 TWh (2,58%), meski sempat mencapai puncaknya hingga 90,6 TWh (6,11%) pada 2030. Rencana ini merupakan skenario yang diharapkan dapat mendukung agenda percepatan transisi energi dan mencapai netral karbon dengan meminimalkan penggunaan energi fosil. Namun pembukaan ladang gas baru justru meningkatkan penggunaan gas domestik, berpotensi hambat target skenario JETP.
Temuan itu terungkap dalam laporan lembaga think tank, Zero Carbon Analytics yang bertajuk “Bullish Asian gas demand forecasts eroded by renewable surge” yang salah satunya mengkaji rencana dekarbonisasi Indonesia melalui gas sebagai bahan bakar alternatif pengganti batu bara hingga 2050. Penggunaan gas dalam skenario RUPTL 2021-2030 diproyeksi mencapai 15,4% pada 2030, dan berdasarkan Rencana Energi Nasional Umum (RUEN) setidaknya 24% pada 2050.
Peneliti Yayasan Indonesia CERAH, Sartika Nur Shalati mengungkap, Pemerintah Indonesia berencana menambah kapasitas pembangkit listrik hingga 80 GW dalam revisi RUPTL terbaru. Tetapi 20 GW di antaranya akan mengandalkan pembangkit gas. “Langkah ini dikhawatirkan justru mendistraksi pembangunan energi terbarukan, yang semakin menjauhkan Indonesia dari target dekarbonisasi,” jelas Sartika, Jumat (21/6/2024)..
Permintaan Gas
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan tiga skenario utama tentang persediaan gas Indonesia dalam beberapa dekade mendatang. Skenario pertama menunjukkan, pada sebagian atau sepanjang periode 2018-2027, Indonesia memiliki kelebihan pasokan gas, terutama jika pemerintah menghentikan kontrak ekspor gas pipa/LNG jangka panjang dan mengalihkan penggunaannya dalam negeri. Sementara dua skenario lainnya, neraca gas nasional diproyeksikan mengalami kelebihan pada 2018-2024, tetapi diikuti defisit gas pada periode 2025-2027.
Selain ESDM, juga terdapat proyeksi yang saling bertentangan mengenai peran gas dalam transisi energi di Indonesia. Dokumen RUEN mengantisipasi kebutuhan gas Indonesia mencapai 44,8 juta ton setara minyak (million ton oil equivalent/mtoe)pada 2025. Permintaan ini diproyeksi meningkat menjadi 113,9 mtoe pada 2050. Sehingga untuk memenuhi tingginya permintaan tersebut, dibutuhkan setidaknya 89,5 mtoe (9.787 mmscfd) pasokan gas pada 2025.
Sedangkan pada 2050, kebutuhan gas diproyeksikan meningkat menjadi 242,9 mtoe, atau (27.013 mmscfd). Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) bahkan memperkirakan permintaan yang meningkat sebesar 298% pada 2050.
Namun, ladang-ladang gas domestik yang tersedia, hanya dapat memenuhi 35% dari permintaan gas yang direncanakan dalam 20 tahun ke depan.
Temuan ini semakin dipertegas dengan proyeksi Wood Mackenzie yang menyebutkan, Indonesia akan tetap menjadi pengekspor gas dan LNG hingga 2030-an. Tetapi pada 2040-an akan berubah menjadi pengimpor gas.
Menurut Amy Kong, Peneliti Zero Carbon Analytics, “permintaan gas di Asia tidak secerah yang diperkirakan oleh industri. Volatilitas harga LNG dan penurunan biaya energi terbarukan, menimbulkan keraguan terhadap konsumsi energi gas dalam jangka panjang” kata Amy. “Perbandingan biaya energi terbarukan yang makin murah dibanding gas, justru dapat mendorong adopsi energi terbarukan dengan cepat, yang akan lebih mendukung upaya Indonesia menuju transisi energi berkeadilan"
Risiko defisit gas dalam negeri yang berpotensi gagal memenuhi permintaan domestik, terutama dari pembangkit listrik, merupakan tantangan yang harus dipikirkan lebih jauh oleh pemerintah. Keputusan mengakhiri kontrak ekspor gas alam dan LNG secara jangka panjang untuk dialihkan pada penggunaan domestik, hanyalah solusi jangka pendek. Untuk keamanan energi jangka panjang, Indonesia perlu mempercepat pengembangan energi terbarukan, guna memfasilitasi transisi energi, serta mengurangi risiko impor LNG yang berkepanjangan.
Eksplorasi dan produksi gas yang terus berlanjut, hanya akan jadi penghalang mewujudkan transisi energi Indonesia. Pemerintah harus mengatasi tantangan dari naiknya permintaan gas domestik, sembari tetap memprioritaskan penggunaan energi terbarukan. RH