Jakarta, OG Indonesia -- Tahun 2023, Ikatan Dokter Anak di Indonesia (IDAI) mencatat lonjakan yang mengkhawatirkan dalam kasus penyakit kronis pada generasi muda, khususnya diabetes. Terjadi peningkatan 70 kali lipat dibandingkan 13 tahun lalu. Naasnya, dari 1.645 anak yang terkena diabetes, kelompok usia 10-14 tahun menunjukan prevalensi tertinggi, sebanyak 46%.
Tren negatif ini juga menjadi fokus perhatian Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC). Institusi itu menekankan bahwa prevalensi penyakit kronis pada anak-anak, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan. Faktor pola makan yang tidak sehat, seperti konsumsi makanan cepat saji dan kurangnya aktivitas serta faktor stress, ditengarai menjadi faktor utama.
Sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesadaran anak muda terhadap kesehatan, Chintya Maulini, Mahasiswa Program Studi Komunikasi Universitas Pertamina (UPER), mengembangkan program inovatif bertajuk Fix My Food. Perhatiannya yang besar pada pendidikan dan pemberdayaan pemuda, menjadikan Chintya terpilih untuk menjadi bagian dari Youth People’s Action Team (YPAT) Asia Pasifik. YPAT digagas UNICEF untuk menanggapi berbagai masalah anak-anak di seluruh dunia, termasuk isu kesehatan.
“Saya melihat pemuda memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan untuk mencapai pembangungan berkelanjutan, khususnya dalam memajukan sektor kesehatan. Walaupun kesadaran pemuda terhadap pembangunan keberlanjutan masih belum optimal, dengan bergabungnya saya sebagai mentor di YPAT 2024, saya berharap dapat mengobarkan api semangat kawula muda untuk aktif dalam berbagai proyek. Termasuk dalam mengajak pemuda lainnya untuk lebih sadar terhadap kesehatan pribadi dan mengajak lingkungannya untuk mengikuti jejak serupa,” ujar Chintya.
Sebagai Mitra Muda UNICEF Indonesia, program tersebut diyakini Chintya sebagai langkah kecil dalam memiliki lingkungan pangan yang baik sehingga tujuan dalam penurunan angka terjangkitnya penyakit kronis di kalangan usia muda dapat wujudkan.
Pertumbuhan restoran cepat saji di Indonesia cukup pesat, 10 sampai dengan 15 persen setiap tahunnya. Menyitir Katadata Insight Center (KIC), penikmat makanan cepat saji dengan frekuensi 6-7 kali sepekan paling banyak dari gender perempuan 57,1%, dan laki-laki 42,9%. Dilain sisi santapan tersebut juga beresiko terhadap kesehatan jika dikonsumsi secara berlebihan.
"Melalui program Fix My Food, saya ingin menggelar kampanye yang bertujuan meningkatkan perhatian anak muda yang gemar makanan cepat saji untuk lebih bijak dalam mengkonsumsi makanan tersebut. Program ini akan menggandeng kaum muda, influencer, selebriti dan pengusaha makanan di kawasan Asia Pasifik,” tambah Chintya.
Prestasi Chintya dalam keterlibatannya di kancah internasional turut diapresiasi oleh Rektor UPER, Prof. Dr. Ir. Wawan Gunawan A Kasir MS. Bagi Prof. Wawan sebagai kampus yang memiliki visi dalam mencetak para pemimpin global, UPER terus mendukung para mahasiswa dalam melebarkan sayap ke ranah universal melalui pembekalan di kelas.
“Kurikulum UPER yang disesuaikan dengan kebutuhan industri dan sosial. Terbaru, UPER menghadirkan kurikulum pembangunan berkelanjutan melalui mata kuliah Pembangunan Berkelanjutan yang turut didukung dengan tenaga pendidik ahli maupun praktisi dari dalam dan luar negeri. Harapannya, mahasiswa siap dalam menjawab berbagai tantangan dan kebutuhan global. Selain itu dukungan lain seperti bimbingan karir yang menghadirkan para pegiat industri secara global, melalui program Lulusan Merah Putih menjadi asa dalam meningkatkan kesuksesan mahasiswa untuk mengaplikasikan teori ke dunia kerja,” pungkas Prof. Wawan. RH