Foto: Hrp
Jakarta, OG Indonesia -- Tantangan pemerintah untuk mencapai target produksi minyak bumi sebesar 1 juta BOPD dan gas bumi sebesar 12.000 MMSCFD pada 2030 semakin berat sering dengan terus menurunnya produksi migas nasional. Berdasarkan data, selama periode 2010 hingga 2022 produksi migas nasional tercatat mengalami penurunan rata - rata sekitar 3,28% per tahun untuk minyak dan 3,36% per tahun untuk gas.
Kinerja produksi migas pada tahun 2023 tercatat juga masih di bawah target. Berdasarkan data yang ada, perkiraan produksi minyak bumi hingga akhir tahun 2023 adalah 606,3 ribu barel per hari atau 91,1 persen dari target APBN 2023. Sementara perkiraan salur gas bumi pada tahun 2023 adalah 5.400 standar kaki kubik per hari (MMSCFD), atau 87,7 persen dari target APBN 2023.
"Selama lima tahun terakhir, realisasi produksi migas terhadap target APBN rata – rata adalah 93,69% untuk minyak bumi dan 95,26% untuk gas bumi," ungkap Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam keterangannya, Kamis (7/12/2023).
Berkaitan dengan target produksi migas tahun 2030 dan pengeloaan hulu migas nasional, kata Komaidi, Reforminer Institute memiliki sejumlah pandangan.
Komaidi mengatakan, profil dan kinerja produksi migas nasional sebagaimana disampaikan di atas telah dapat diperkirakan sebelumnya karena utamanya mengandalkan produksi dari lapangan yang telah berproduksi sebelumnya (existing) yang kurang lebih 70% di antaranya sudah masuk kategori mature.
Profil dan kinerja produksi migas yang demikian itu juga terbentuk dari pola investasi hulu migas nasional yang telah hampir dua dekade terakhir ini porsi terbesarnya adalah untuk pemeliharaan produksi.
"Selama periode 2015 – 2023, porsi terbesar dari investasi hulu migas nasional rata-rata kurang lebih adalah untuk produksi (71,06%) dan pengembangan (15,4%). Sementara porsi investasi untuk kegiatan eksplorasi pada periode yang sama hanya berada pada kisaran 5 – 6%," terangnya.
Dengan profil produksi yang sebagian besar mengandalkan lapangan migas mature-existing dan pola investasi hulu yang porsi eksplorasinya minim sebagaimana di atas,Komaidi mengatakan, "Akan sangat sulit untuk dapat mencapai target produksi minyak bumi sebesar 1 juta BOPD dan gas bumi sebesar 12.000 MMSCFD pada 2030."
Dilanjutkan olehnya, optimalisasi lapangan mature-existing dapat dikatakan telah cukup berhasil dilakukan oleh para KKKS yang beroperasi di tanah air, dalam menahan laju penurunan produksi yang ada. "Sebagai contoh dalam hal ini, adalah Pertamina, yang saat ini berkontribusi sekitar 68% terhadap produksi minyak nasional dan 34% terhadap produksi gas nasional," jelasnya.
Berdasarkan data SKK Migas, produksi minyak nasional pada 2023 mengalami penurunan sekitar 0,16% dari tahun sebelumnya. Realisasi produksi minyak nasional turun dari 607,3 ribu barel per hari pada 2022 menjadi 606,3 ribu barel per hari pada 2023. Sementara, produksi minyak Pertamina pada periode yang sama tercatat meningkat sekitar 10%, dari 586 ribu barel per hari pada 2022 menjadi 593 ribu barel per hari pada 2023.
Untuk gas, peningkatan produksi gas nasional sebesar 1,05% pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya di antaranya juga merupakan kontribusi dari Pertamina. Realisasi produksi gas nasional pada 2023 diproyeksi sekitar 5.400 MMSCFD, meningkat sekitar 1,05% dari realisasi 2022 yang tercatat sekitar 5.344 MMSCFD pada 2022. Pada periode yang sama produksi gas Pertamina meningkat sekitar 5%, dari 2.624 MMSCFD pada 2022 menjadi 2.746 MMSCFD pada 2023.
Total investasi Pertamina di sektor hulu migas pada tahun 2023 tercatat juga mengalami peningkatan sebesar 25% dari tahun sebelumnya. Realisasi investasi Pertamina di sektor hulu migas pada tahun 2023 tercatat sebesar 4.009 juta USD, meningkat dari sebelumnya 3,203 juta USD. "Investasi Pertamina di sektor hulu migas tersebut berkontribusi sekitar 41,3% terhadap investasi hulu migas nasional pada tahun 2023 yang diproyeksi sebesar 13,9 juta USD," tuturnya.
Komaidi melanjutkan, tren positif dari kinerja Pertamina selama kurun 2022-2023, diproyeksikan akan terus berlanjut pada 2024. Berdasarkan work program and budget (WP&B) tahun 2024, Pertamina menargetkan produksi minyak sebesar 593 ribu barel per hari, atau meningkat sebesar 5% dibandingkan realisasi tahun 2023. Sementara untuk gas, Pertamina menargetkan peningkatan produksi gas pada 2024 sebesar 1% dari 2.746 MMSCFD pada tahun 2023 menjadi 2.769 MMSCFD pada tahun 2024.
"Dalam hal menahan laju penurunan produksi, dengan sebagian besar lapangan migas mature-existing yang sebagian besar juga telah diserahkelolakan ke Pertamina, pilihan kebijakan pemerintah dapat dikatakan relatif tidak banyak selain memberikan dukungan berupa peningkatan keekonomian lapangan seoptimal mungkin," paparnya.
Di dalam implementasi, tambah Komaidi, hal ini pada dasarnya memungkinkan untuk dapat dilakukan dengan relatif sederhana, di antaranya melalui: 1) memberikan keleluasaan (fleksibilitas) untuk dapat memilih bentuk kontrak yang lebih sesuai dengan kondisi wilayah kerjanya dan strategi portofolio investasinya, 2) menambah porsi bagian KKKS melalui penyesuaian besaran komponen-komponen fiskal yang ada di dalam Kontrak Kerja Sama (KKS).
Komaidi menegaskan, beberapa komponen fiskal yang dapat disesuaikan tersebut di antaranya adalah (1) perubahan split bagi hasil (penambahan split bagi kontraktor), (2) mengurangi persentase First Tranche Petroleum (FTP), (3) pengembalian biaya operasi melalui depresiasi yang dipercepat, (4) perpanjangan periode Domestic Market Obligation (DMO) Holiday dengan mengacu pada harga Indonesian Crude Price (ICP) dan (6) penambahan investment credit.
"Dalam hal upaya untuk meningkatkan produksi migas nasional secara signifikan, investasi skala besar untuk kegiatan pengembangan lapanganlapangan baru sebagai hasil dari kegiatan eksplorasi masif ataupun melalui kegiatan peningkatan produksi tahap lanjut (enhanced oil recovery) skala besar, mutlak diperlukan. SKK Migas memperkirakan setidaknya diperlukan investasi sebesar 186 miliar dolar AS selama periode 2021 – 2030," ungkapnya.
Investasi sebesar itu memerlukan iklim dan suasana berusaha yang kompetitif dan kondusif. Dalam konteks ini, kepastian hukum menjadi salah satu aspek yang terpenting. Dalam publikasi SKK Migas (2023), Indonesia tercatat masih menempati peringkat 13 dari 14 negara berkaitan dengan aspek kepastian hukum, menandakan di aspek yang paling fundamental ini iklim investasi hulu migas belum cukup kondusif. Penyelesaian revisi UndangUndang Migas yang terus tertunda menjadi salah satu penyebab utama dalam hal ini.
"Reformasi fundamental sektor hulu migas nasional, yang dimulai dengan penyelesaian segera atas proses revisi Undang-Undang Migas yang ada menjadi kebutuhan mendesak untuk memberikan sinyal kepastian hukum yang lebih baik, untuk menarik investasi hulu migas skala besar," tegas Komaidi.
Dia mencontohkan, Brasil, Meksiko dan Malaysia adalah beberapa negara yang tergolong progresif dan dapat dikatakan berhasil di dalam melakukan reformasi kebijakan hulu migasnya melalui undang-undang migasnya. Melalui perubahan kebijakan yang dipayungi undang-undang, ketiganya berhasil dalam “meremajakan” lapangan-lapangan migasnya sehingga profil produksi nasionalnya mampu bertahan dan meningkat.
"Pengelolaan hulu migas nasional perlu belajar dan mengambil hal-hal positif dari reformasi kebijakan hulu migas yang dijalankan negara-negara tersebut. Jika terus mempertahankan pola business as usual sebagaimana yang berjalan selama ini, maka target produksi minyak bumi sebesar 1 juta BOPD dan gas bumi sebesar 12.000 MMSCFD pada 2030 akan semakin tidak realistis," pungkas Komaidi. RH