Rumah Kreatif Tamiang binaan Pertamina EP Rantau Field merangkul para difabel di Aceh Tamiang untuk lebih berdaya di tengah masyarakat. Foto-foto: Ridwan Harahap |
Aceh Tamiang, OG Indonesia -- Sore itu Dede Kurniawan masih terlihat sibuk di Bengkel Difabel. Dengan satu kruk terjepit di bawah lengan kirinya, pria yang akrab disapa Wawan ini tetap lincah bergerak. Mulai dari mengawasi pekerjaan reparasi motor yang dikerjakan sesama rekan difabel, hingga turut mementori siswa Praktik Kerja Lapangan (PKL) dari SMK sekitar yang tengah belajar mekanik kendaraan secara langsung di Bengkel Difabel.
Bengkel Difabel merupakan bagian dari Rumah Kreatif Tamiang yang terletak di Jalan Medan-Banda Aceh, Kampung Tanjung Karang, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Di Rumah Kreatif Tamiang, selain Bengkel Difabel terdapat pula kegiatan usaha lainnya seperti Inklusi Coffee, Rumah Limbah Difabel, dan Inklusi Baking yang semuanya melibatkan para penyandang disabilitas untuk berdaya dan bekerja.
Kala berbincang santai dengan OG Indonesia di Inklusi Coffee yang letaknya bersebelahan dengan Bengkel Difabel, Rabu (4/10/2023), Wawan menceritakan bahwa PT Pertamina EP Rantau Field (PEP Rantau Field) mulai mengadakan pelatihan bengkel kepada rekannya sesama penyandang disabilitas pada Agustus hingga Oktober 2020. Pelatihan keterampilan bengkel ini menggandeng LSM Boemi, Dinas Sosial Aceh Tamiang serta diajarkan langsung oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Aceh Tamiang.
Namun usai pelatihan, keterampilan yang telah dikuasai oleh para peserta belum termanfaatkan secara optimal karena sebagai besar dari mereka tidak cukup modal untuk membuka usaha bengkel sendiri. Mereka pun tetap menganggur tanpa pekerjaan. Sampai akhirnya PEP Rantau Field kembali membimbing para penyandang disabilitas di Aceh Tamiang dengan membuat wadah yang dinamakan Rumah Kreatif Tamiang pada akhir tahun 2020.
Bengkel Difabel merupakan bangunan pertama yang berdiri di atas aset tanah milik Pertamina tersebut. "Awal 2021, setelah bangunan, kami diberikan bantuan kunci-kunci, kompresor, lalu spare part untuk bengkel, termasuk pelatihan-pelatihan bengkel juga," ucap Wawan yang merupakan Ketua Kelompok Bengkel Difabel dari Rumah Kreatif Tamiang.
Wawan menerangkan sudah ada sebanyak 32 penyandang disabilitas yang telah mengikuti pelatihan bengkel dari PEP Rantau Field dan yang sekarang turut bergabung bekerja di Bengkel Difabel ada 6 orang penyandang tuna daksa. Di samping itu Bengkel Difabel juga terbuka bagi siswa SMK umum yang mau melakukan kegiatan PKL, di mana saat ini ada 5 siswa yang tengah ikut PKL di sana.
Dede Kurniawan, Ketua Kelompok Bengkel Difabel (kanan) sedang membimbing siswa SMK yang sedang PKL di Rumah Kreatif Tamiang. |
Menurut Wawan, respon masyarakat Aceh Tamiang sendiri cukup positif atas keberadaan Bengkel Difabel yang menyediakan layanan service ringan, service berat, serta menjual produk oli hingga spare part, sampai jasa doorsmeeer atau cuci kendaraan. "Alhamdulillah masyarakat menerima dan banyak juga pelanggannya. Kami juga terbantu dari sisi penghasilan. Kalau sebelum ada program, entah kemana kami mau mengadu," tutur Wawan.
Rumah Kreatif Tamiang ternyata juga Inklusif dua arah alias bukan hanya melibatkan para penyandang disabilitas untuk bekerja pada suatu kegiatan usaha. Namun pada sisi lain, tempat usaha tersebut juga terbuka dan sangat ramah dengan konsumen dan pengunjung difabel.
Seperti di Inklusi Coffee yang karyawannya para tuna rungu telah membuat aplikasi khusus untuk pemesanan, menu bahasa isyarat, menu braille, sampai komunikasi bahasa isyarat guna memudahkan komunikasi antara pekerja kafe dan konsumen. Di seluruh area Rumah Kreatif Tamiang juga terdapat jalur guiding block yang membantu para tuna netra untuk berjalan. Masih ada lagi ramp untuk akses jalan yang lebih lebar bagi para difabel berkursi roda serta hand rail untuk pegangan tangan. Rumah Kreatif Tamiang juga sudah peduli terhadap isu energi di mana telah terpasang panel surya yang bisa melistriki sebagian penerangan secara mandiri.
Road Map yang Jelas
Despredi Akbar, Field Manager Pertamina EP Rantau Field, menegaskan bahwa pihaknya sangat serius dalam menjalankan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) di wilayah sekitar operasi perusahaan. Tak heran pada ajang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, PEP Rantau Field selalu mendapatkan PROPER Emas sejak tahun 2016 hingga 2022 dan hanya sekali gagal mendapatkannya pada 2021.
"Kami punya road map yang jelas, mulai dari pengenalan, pembinaan, sampai pelepasan atau exit program. Alhamdulillah dari program lama yang sudah dilepas sudah bisa mandiri," ucap Despredi.
Diuraikan olehnya, program Rumah Kreatif Tamiang yang kini sudah memberdayakan 18 orang penyandang disabilitas memiliki dua inovasi sosial yaitu Inovasi Bangkit Berdikari (Pengembangan Masyarakat Inklusi Tamiang berbasis Sociopreneurship, Edukasi, dan Lingkungan Lestari) di tahun 2022 dan Setara Sejalan (Sistem Kewirausahaan Sosial Inklusif Berkelanjutan) di tahun 2023.
Pemilihan program TJSL yang menyasar para difabel lewat Rumah Kreatif Tamiang menurut Despredi bukan tanpa sebab. Ternyata, sebelumnya PEP Rantau Field sudah memetakan bahwa salah satu isu sosial di Aceh Tamiang adalah bahwa kabupaten ini memiliki jumlah penyandang disabilitas terbesar kedua di Provinsi Aceh.
"Mudah-mudahan program Rumah Kreatif Tamiang ini bisa memberi stimulasi bagi teman-teman difabel untuk bekerja secara normal," papar Despredi seraya berharap program ramah difabel dari PEP Rantau Field ini bisa menjadi pionir dan banyak direplikasi di tempat lain.
Inklusi Coffee di Rumah Kreatif Tamiang turut memberdayakan para tuna rungu untuk bekerja. |
Atas program TJSL dari perusahaan minyak seperti PEP Rantau Field yang merangkul para difabel, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyampaikan apresiasinya. "Programnya sangat bagus dan menyentuh semua aspek. Ada pemberdayaan secara luas, karena yang disentuh bukan hanya dari aspek ekonomi tetapi juga hati dan jiwa yang jauh lebih berharga karena tidak banyak yang memberikan perhatian kepada teman-teman kita yang memiliki keterbatasan ini," kata Komaidi.
Kendati demikian Komaidi tetap mengingatkan bahwa suatu program TJSL yang baik harus memiliki exit program yang baik sehingga kegiatan yang telah didukung tersebut bisa terus berkelanjutan walaupun tanpa ada lagi peran perusahaan yang membantu.
"Untuk itu perlu kolaborasi, tidak hanya menjadi tanggung jawab perusahaan yang ada di lokasi tersebut tetapi jadi tanggung jawab bersama, bisa dikoordinasikan dengan pemerintah daerah untuk menjaga keberlanjutannya. Karena ini suatu program yang bagus jadi sangat sayang kalau keberlanjutannya tidak menjadi perhatian bersama," tutup Komaidi. RH