Togar, anak gajah yang diselamatkan Pusat Konservasi Gajah di Minas, Kabupaten Siak, Riau. Foto-foto: Ridwan Harahap |
Siak, OG Indonesia -- Matanya yang mungil terlihat bersinar. Sementara ekornya berkibas ke kiri dan ke kanan. Berulang kali belalai dijulurkannya kepada sang mahout atau pawang gajah yang memegang potongan buah semangka di tangan. Rupanya ia hendak meminta makan. Hap, tak terasa satu, dua, tiga potong semangka tandas dilahapnya saat dirinya diberi makan. Begitu seterusnya selama dia masih mendapat asupan makanan.
Nafsu makan Togar memang besar. Seperti gajah lain pada
umumnya, dalam sehari pasokan makanannya bisa mencapai 10 persen dari bobot
tubuhnya. Berat Togar sekitar 500 kilogram. Jangan kaget kalau 50 kilogram
bahan makanan bisa ludes disantap Togar dalam satu hari. Togar merupakan gajah
sumatra (Elephas maximus sumatranus) jantan dengan usia baru enam tahun.
Normalnya, usia hidup gajah sumatra sama seperti manusia, bisa mencapai 70
tahun.
Sudah sekitar 3,5 tahun Togar tinggal di Pusat Konservasi
Gajah (PKG) Minas yang berlokasi di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif
Hasyim, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak, Riau. Sebelumnya, Togar merupakan anak
gajah liar yang ditemukan terjerat kawat penjebak babi di tengah hutan. Kala itu kaki kiri depannya nyaris putus. Namun setelah dibawa dan dirawat tim Balai
Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau di PKG Minas, Togar nan tegar
kini sudah kembali bugar.
“Perawatan sekitar setahun lebih, sampai tuntas dia pulih
dan bisa berlari lagi. Saya yang merawatnya,” cerita Syahron Siregar, mahout
penjaga Togar kepada OG Indonesia dalam kegiatan media visit ke PKG
Minas, Kamis (26/10/2023).
Ditemani sang mahout, Syahron Siregar (berkaos merah), Togar menyapa pengunjung yang datang ke PKG Minas. |
Dengan kondisinya yang sudah sehat kembali, Syahron
menjelaskan Togar tidak bisa begitu saja dikembalikan ke alam bebas. Alasannya,
Togar sudah terlalu lama tidak hidup di alam liar serta telah lama terpisah dari
kawanannya sehingga dikhawatirkan akan membahayakan dirinya jika
dilepasliarkan. Syahron sendiri berkeyakinan sudah mengetahui keberadaan induk
Togar beserta kawanannya. “Saya pernah
jumpa dan tahu mana induknya, itu setahun setelah Togar di sini,” ungkapnya.
Akan tetapi Togar punya tugas lebih penting di PKG Minas. Togar
kini seolah menjadi duta satwa dalam menciptakan relasi positif antara manusia
dan hewan liar di mana dirinya selalu menjadi primadona bagi para pengunjung
yang datang ke PKG Minas.
Seperti saat media visit wartawan nasional ke PKG Minas. Walaupun
ada gajah-gajah dewasa seperti Angga, Indah, Vera, dan Dayang yang datang
menyambut, para jurnalis dan rombongan dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) lebih
terkesima dengan tingkah Togar yang tidak bisa diam serta terkadang usil. Para
pengunjung pun tak takut untuk memberinya makan, mengelus dahinya, berfoto
dengannya, atau bahkan memeluk Togar saking gemasnya.
Program Konservasi Gajah PHR
Priawansyah, Analyst Social
Performance PHR, menerangkan bahwa berkat peran Togar dan gajah-gajah jinak di PKG
Minas diharapkan bisa membangun interaksi positif antara gajah dan manusia yang
kerap beririsan dalam urusan ruang dan lahan. Karena itu, sebagai perusahaan
migas pengelola Wilayah Kerja (WK) Rokan di Riau, PHR berupaya melakukan
konservasi gajah sumatra, baik yang jinak maupun yang hidup liar dengan
menggandeng BBKSDA Riau dan Rimba Satwa Foundation (RSF).
“SKK Migas dan PHR bersama BBKSDA Riau dan Rimba Satwa
Foundation berupaya melakukan program konservasi gajah. Ada dua program,
menjaga gajah yang jinak di PKG Minas, dan yang kedua menjaga gajah liar di
alam. Sebetulnya tidak hanya gajah, tetapi harimau liar juga,” ucap Priawansyah.
Sebanyak 15 ekor gajah jinak dirawat di PKG Minas yang disokong oleh PT Pertamina Hulu Rokan. |
Untuk program konservasi gajah jinak, Priawansyah
menjelaskan saat ini terdapat 15 ekor gajah yang hidup di PKG Migas yang seluas
20 hektare. Setiap harinya kebutuhan pakan dari gajah-gajah tersebut dipasok
oleh PHR. Upaya ini sebagai bentuk
tanggung jawab PHR sebagai pengelola lapangan-lapangan minyak di Blok Rokan
yang wilayahnya juga menjadi habitat gajah. Tak tanggung-tanggung, PHR
menggelontorkan dana lebih dari Rp2 miliar per tahun untuk merawat gajah-gajah
jinak di PKG Minas.
Sementara untuk program konservasi gajah liar, PHR dapat
mencegah penurunan populasi gajah lebih lanjut akibat kian berkurangnya habitat
alami gajah karena disulap oleh manusia menjadi perkebunan kelapa sawit. “Ini sudah
terjadi bertahun-tahun, kalau dulu mungkin ada ratusan gajah hidup di sini, kalau
sekarang yang liar mungkin tinggal sekitar 70-80 ekor,” terangnya.
Guna menjaga gajah liar dari ancaman bahaya, tim PKG Minas yang didukung PHR rutin melakukan patroli serta berupaya
memonitor pergerakan gajah-gajah liar dengan memakai teknologi GPS
Collar yang dikalungkan di leher gajah. “Ada tujuh ekor gajah yang telah
dipasangi GPS Collar sehingga bisa dilihat saat ini juga di mana posisi-posisi
gajah itu sekarang,” tutur Priawansyah.
Berkat GPS Collar yang telah diaplikasikan dalam dua tahun terakhir
ini, keberadaan gajah kini mudah dipantau sehingga bisa menjadi sistem peringatan
dini bagi petugas konservasi manakala kawanan gajah berada pada kawasan yang
membahayakan atau rawan konflik dengan manusia. Jadi ketika posisi gajah mendekati pemukiman atau perkebunan warga, early warning system langsung disebarkan
secara cepat lewat grup WA agar masyarakat dapat mengantisipasinya. Hasilnya,
interaksi negatif antara gajah dan masyarakat kini bisa diredam dengan perkiraan
kerugian masyarakat yang bisa ditekan mencapai 60 persen.
Tidak hanya memerhatikan dari sisi gajah semata, PHR juga berupaya
mengedukasi masyarakat lewat program agroforestri. Di mana penduduk yang
sekarang hidup di daerah perlintasan gajah diajak untuk menanam tanaman yang
cenderung tidak disukai gajah atau tanaman yang sukar dirusak oleh gajah yang melintas, namun tetap bernilai ekonomi tinggi, seperti jeruk, alpukat, pete, jengkol,
hingga durian. “Jadi PHR dan SKK Migas seperti memediasi gajah dan manusia
supaya tidak konflik,” ujar Prianwansyah sambil tersenyum.
Gajah-gajah di PKG Minas dikawal para mahout selepas berendam dan mandi di sungai. |
Ditambahkan oleh Zulhusni Syukri, Ketua Rimba Satwa
Foundation, selain menjaga gajah serta menggugah kesadaran masyarakat untuk
tidak berkonflik dengan gajah, program konservasi gajah di Minas juga memerhatikan
aspek habitat atau wilayah tempat tinggal gajah. “Untuk habitat gajah, kami
melakukan restorasi atau rehabilitasi ekosistem. Ada dua hal yang dilakukan,
pertama lewat agroforestri dan yang kedua kami juga menanam tanaman pakan gajah
seperti rumput odot di area perlintasan gajah yang tidak berkonflik dengan masyarakat,”
papar Zulhusni.
Mukti Ali selaku Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BBKSDA
Riau, mengapresiasi PHR yang telah bermitra dengan BBKSDA Riau di dalam
melakukan konservasi terhadap gajah sumatra yang ada di Bumi Lancang Kuning,
Riau. “Terus terang BBKSDA Riau tidak bisa sendiri, jadi kami harus punya mitra
untuk mengawasi dan menjaga kelestarian satwa yang ada di Provinsi Riau. Karena
itu kami sangat mengapresiasi setinggi-tingginya Pertamina Hulu Rokan yang
sudah sangat peduli terutama untuk gajah yang ada di Pusat Konservasi Gajah ini,”
kata Mukti Ali.
Sementara itu Kepala Departemen Formalitas dan Komunikasi SKK Migas Sumatra Bagian Utara (Sumbagut) Yanin Kholison menegaskan bahwa industri hulu migas dalam kegiatan operasinya harus senantiasa sejalan dengan lingkungan sekitarnya. “Melalui tangan industri hulu migas kita melakukan kegiatan konservasi ini. Kami tentunya sangat mengapresiasi model-model kerja sama seperti ini sebagai implementasi dari rencana strategis dan visi hulu migas 4.0 di mana aspek keberlanjutan harus bisa terus dipastikan,” ucap Yanin. RH