Jakarta, OG Indonesia -- Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menegaskan upaya
memasukkan skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga
listrik PLN oleh pihak swasta ke dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru dan
Energi Terbarukan (EBET) perlu diwaspadai karena merupakan bentuk privatisasi sektor ketenagalistrikan
terutama di bidang transmisi listrik yang berpotensi melanggar undang-undang.Diungkapkan olehnya, dalam RUU EBT yang kini masih dibahas ada beberapa hal yang ditolak oleh dirinya, salah satunya terkait power wheeling. Di mana menurutnya, apabila pasal terkait hal tersebut disetujui dan ditetapkan sebagai UU maka sangat berbahaya bagi kedaulatan negara.
“Saya melihat ini sebuah langkah secara langsung atau tidak privatisasi transmisi (listrik), kalau selama ini pembangkit listrik banyak peran dari swasta dan porsi PLN kecil, nah sekarang mulai masuk ke transmisi,” kata Mulyanto dalam diskusi bertajuk "Mengawal RUU EBET Konstitusional dan Pro Rakyat" yang dilakukan secara hybrid di Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Ia menegaskan, usulan power wheeling dalam naskah RUU EBET sangat ugal-ugalan dan sangat merugikan negara termasuk bagi PLN sebagai BUMN Ketenagalistrikan. Menurutnya pasal ini harus dikawal dan ditolak mentah-mentah agar Indonesia tidak dijadikan sarang bagi pemburu rente. Dia menyetujui dominasi EBT dalam bauran energi nasional selama tarif tidak membebani rakyat.
“Kami di PKS sangat konsern dengan UU yang harus konstitusional dan memihak rakyat, jadi jangan sampai membebani rakyat apalagi sampai melegalkan impor,” tukasnya.
Saat ini dalam pembahasan RUU EBET, pihak pemerintah baru memberikan pandangan, termasuk draf Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM atas RUU EBET saat Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR dan DPD RI pada 29 November 2022. Hingga saat ini, DIM final masih belum disampaikan kepada DPR.
Mulyanto mengatakan pihaknya masih menunggu DIM final RUU EBET tersebut dari pemerintah. Walaupun dari Raker terakhir dengan Komisi VII DPR pada akhir November tersebut, masalah power wheeling sama sekali tidak disinggung pihak pemerintah. "Mungkin masih ada perdebatan di kalangan pemerintah sendiri mengenai power wheeling tersebut," ucap Mulyanto.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menegaskan kembali penolakan atas ketentuan skema power wheeling masuk dalam RUU EBET. "Meskipun disebutkan telah dihapus dalam pokok bahasan, rakyat harus waspada dan tetap menolak dimasukkannya ketentuan tentang skema power wheeling," kata Marwan.
Diuraikan olehnya, skema power wheeling akan memberikan jalan kepada IPP atau pihak swasta mengambil porsi bisnis PLN sebagai pelanggan premium, serta mengurangi kemampuan subsidi silang antar wilayah.
Dengan skema ini, meski tidak memiliki jaringan transmisi dan distribusi sendiri, pasokan listrik IPP dapat sampai kepada konsumen, di mana saja berada. Sebab, dengan skema power wheeling, IPP diberi kesempatan untuk memanfaatkan sarana yang dimiliki PLN untuk menyalurkan listrik ke konsumen.
"Prinsipnya, skema ini hanya akan menguntungkan para investor/IPP, atas nama dan alasan absurd, namun di sisi lain akan sangat merugikan negara/APBN, BUMN/PLN dan juga rakyat konsumen listrik," ujar Marwan.
Ia juga menilai hingga saat ini secara formil proses pembentukan UU EBET sudah bermasalah. Dikatakan, RUU EBET telah masuk prolegnas sejak 2019 dan terus menjadi RUU prioritas pada 2020, 2021 dan 2022. Tetapi draf RUU EBET baru disampaikan ke pemerintah 14 Juni 2022. "Tampaknya, RUU EBET tidak akan dapat ditetapkan pada 2022 ini, dan kembali menjadi RUU prioritas pada 2023," ucapnya.
Sementara itu pembicara lainnya yaitu Akhmad Akbar Susamto yang merupakan Ekonom CORE Indonesia berpendapat bahwa UU tentang EBT sebetulnya diperlukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi energi baru dan terbarukan yang melimpah. Perundang-undangan yang ada saat ini dinilainya belum cukup komprehensif untuk menjadi landasan hukum pengembangan EBT.
Meski begitu, Akbar Susamto meminta agar transisi menuju EBT harus dilaksanakan secara bertahap, terukur dan berkelanjutan. Transisi tersebut juga harus mengedepankan energi terbarukan, dan bukan sekedar energi baru.
"Indonesia tidak perlu memaksakan diri seolah-olah menjadi yang terdepan di dunia tetapi kemudian justru terbebani dan harus menanggung konsekuensi negatif yang merugikan masyarakat," tuturnya.
Hal senada juga ditegaskan oleh Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi UGM, Menurutnya skema power wheeling merupakan upaya liberalisasi dalam sektor ketenagalistrikan di Indonesia. "Kalau power wheeling dimasukkan (maka) itu inkonstitusional dan tidak pro rakyat," tegas Fahmy. RH