Jakarta, OG Indonesia -- Pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tentang kenaikan harga BBM bersubsidi, hingga akhir pekan lalu ternyata belum terbukti. Dikatakan Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi, pernyataan Luhut tersebut hanya menimbulkan gonjang-ganjing serta menyulut kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sebelum harga BBM subsidi dinaikkan.
"Kehebohan Luhut juga menyulut panic buying yang menyebabkan kelangkaan Pertalite dan Solar di beberapa SPBU," ucap Fahmy Radhi dalam keterangan yang diterima OG Indonesia, Minggu (28/8/2022).
Fahmy mengatakan, Pemerintah sesungguhnya telah mengajukan tiga opsi terkait masalah beban APBN untuk subsidi energi, terutama BBM, yaitu penambahan subsidi, menaikkan harga BBM subsidi, dan pembatasan BBM subsidi. "Opsi penambahan subsidi sudah mustahil dilakukan, lantaran Pemerintah sudah mengunci dana subsidi pada Rp502,4 triliun," jelasnya.
Lalu untuk opsi menaikkan harga BBM subsidi, Fahmy berpendapat bahwa pertaruhannya terlalu besar jika dilakukan oleh pemerintah, sebab bisa berpengaruh terhadap momentum ekonomi serta dapat menambah beban rakyat miskin semakin besar. "Dengan demikian, satu-satunya opsi tersisa adalah pembatasan BBM subsidi," tegasnya.
Diterangkan Fahmy, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah melansir data bahwa 70% subsidi Pertalite dan 90% subsidi Solar salah sasaran. "Total subsidi Pertalite dan Solar yang salah sasaran selama ini sebesar Rp198 triliun, suatu jumlah yang amat besar bagi APBN," tutur Fahmy.
"Kalau pembatasan subsidi BBM berhasil dilakukan, Pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM subsidi. Namun, Pemerintah cenderung memilih opsi penaikan harga BBM subsidi, yang konon akan diputuskan pada 1 September 2022," bebernya.
Dari kecenderungan tersebut, Fahmy mengkritisi Pemerintah, kenapa tidak memilih opsi pembatasan BBM subsidi tapi lebih memilih untuk menaikkan harga BBM subsidi? "Jangan-jangan industri besar selama ini peminum BBM subsidi melalui oligarki ikut bermain dalam pengambilan keputusan agar tetap bisa minum Solar dengan harga Rp5.000, bukan Rp21.000 per liter," sergahnya.
"Kalau Pemerintah menaikkan harga Solar subsidi menjadi Rp8.500 masih lebih menguntungkan bagi industri sekitar Rp13.000. Kalau benar oligarki dibalik keputusan penaikan harga BBM subsidi, hanya satu kata: Lawan," pungkas Fahmy. RH