Oleh: Ferdinand Hutahaean (Sebuah Opini dan Kritik)
Puluhan tahun sudah subsidi energi khususnya subsidi BBM diluncurkan atas nama rakyat miskin. Era SBY 10 tahun menjadi Presiden, tercatat tidak kurang dari Rp1.300 triliun uang telah habis dibakar untuk subsidi BBM. Pasca SBY yang dilanjutkan oleh Jokowi dari 2014 hingga 2021 atau 7 tahun pemerintahan Jokowi tercatat subsidi BBM telah dibakar tidak kurang dari Rp660 triliun, belum ditambah subsidi 2022 tahun berjalan.
Dengan demikian, 17 tahun Indonesia membakar habis tanpa bekas subsidi BBM sebesar Rp.1.960 triliun. Bila ditambah subsidi tahun berjalan hingga Juli 2022 sebesar Rp62 triliun maka subsidi telah terbakar sebesar Rp2.022 triliun. Sungguh nilai uang yang sangat besar yang seharusnya bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil tergolong miskin.
Pertanyaannya, mengapa jumlah orang miskin susah diturunkan dengan subsidi BBM lebih dari Rp2 ribu triliun dalam 17 tahun? Siapa yang menikmati subsidi tersebut? Benarkah salah sasaran? Jika memang salah sasaran puluhan tahun, mengapa mekanisme subsidi ini dipertahankan dengan pola yang sama? Apakah Pemerintah tak mampu menciptakan sebuah sistem yang baik penyaluran subsidi agar tepat sasaran? Menjadi pertanyaan yang mungkin mudah menjawabnya, tapi tak akan ada yang berani menjawabnya secara jujur.
Subsidi di atas belum ditambah dengan subsidi listrik yang jumlahnya juga tidak jauh beda dengan subsidi BBM. Hendak kemana sebetulnya arah kita berbangsa dengan subsidi ini? Mengapa Dewan Energi Nasional tak lahirkan konsep konsumsi energi yang tepat untuk bangsa ini? Mengapa Badan Pengatur Hilir Migas tak mampu melakukan pengawasan terhadap distribusi kuota BBM bersubsidi hingga kuota terindiksi akan jebol pada APBN 2022 berjalan? Mengapa Kementerian ESDM tak mampu ciptakan sistem pemberian subsidi yang tepat sasaran? Apa yang lembaga-lembaga ini lakukan? Apakah hanya sebagai tukang catat semata? Ataukah mereka-mereka yang menjabat mendapat nikmat berkah subsidi BBM ini hingga tak kunjung melakukan perubahan dalam sistem penyaluran subsidi?
Tahun 2022 ini, Presiden berkali-kali mengeluh akan besarnya jumlah subsidi yang dikucurkan. Subsidi tak tepat sasaran yang justru lebih banyak dinikmati oleh orang kalangan mampu bahkan dinikmati oleh bisnis pengusaha besar. Sementara si miskin yang harusnya jadi target penerima subsidi hanya mendapat remah subsidi yang tersisa.
Dari programnya saja sudah tidak jelas, tidak nyambung, ketika judulnya subsidi untuk kalangan tak mampu tapi diberikan kepada pemilik mobil. Apakah memang pemilik mobil di negara ini tergolong kalangan tak mampu? Termasuk orang miskin yang harus disubsidi? Entahlah. Dari judul programnya saja sudah aneh. Sementara orang miskin pasti tak akan mampu membeli mobil, tapi kenapa subsidi diberikan kepada BBM pemilik kendaraan?
Sebuah ilustrasi penikmat subsidi besar kita berikan contoh pengusaha "XX MART". Dalam operasionalnya XX Mart ini misalnya memiliki 100 kendaraan berbahan bakar Solar. Jika 1 kendaraan berbahan bakar Solar tersebut mengkonsumsi 20 liter Solar per hari maka 1 kendaraan tersebut menikmati subsidi sebesar Rp7.800 dikali 20 liter maka angka subsidinya sebesar Rp156.000 per hari. Atau sebesar Rp4.680.000 per bulan. Dikalikan lagi 100 unit kendaraan toko XX Mart tersebut, maka per bulan toko XX Mart tersebut menikmati subsidi Solar sebesar Rp468.000.000 per bulan. Pantas pengusaha XX Mart tersebut akan semakin kaya raya, sementara rakyat di bawah tidak menikmati subsidi ini secara benar.
Contoh kasus di atas baru untuk 1 toko XX Mart, bagaimana dengan pengusaha pemilik kargo? Pengusaha pemilik bus? Bagaimana pengusaha tambang? Menjadi pertanyaan besar mengapa subsidi yang seharusnya untuk rakyat kecil malah lebih banyak dinikmati oleh pengusaha yang kaya raya?
Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi subsidi BBM yang tidak tepat sasaran ini? Pertama sekali kita harus punya pemerintah yang berani untuk tidak mempolitisasi harga BBM demi kepentingan politik. Kedua, kita harus punya politisi yang tidak gemar cari muka ke rakyat dengan mempolitisasi harga BBM. Ketiga, kita juga butuh rakyat yang sadar diri dan malu menikmati subsidi untuk orang miskin.
Mengharap yang kedua dan ketiga ini tampaknya sulit dan hampir tak mungkin. Dengan demikian, apa yang harus dilakukan agar subsidi ini benar-benar tepat sasaran? Di atas kertas tentu mudah menjawabnya, gunakan sistem penyaluran subsidi secara langsung ke orang penerima dengan sistem tertutup. Subsidi orangnya, bukan produknya. Itu kalau di atas kertas maka semua masalah ini akan selesai. Tapi apakah mungkin? Saya harus tersenyum kecut karena itu tak akan mungkin berani dilakukan dengan besarnya kepentingan politik untuk berkuasa dari semua pihak.
Dengan demikian, pemerintah sebaiknya jangan mengeluh atas besarnya subsidi ini. Sebaiknya diam dan sediakan uang untuk subsidi kecuali berani mengambil tindakan tegas untuk memajukan bangsa ini. Adakah yang berani tegas?
Selain kebijakan tegas dan keras tersebut, mungkin solusi lain yang bermafaat adalah melakukan pengawasan, pembatasan dan pengetatan. Ini tak menyelesaikan masalah secara permanen tapi setidaknya mengurangi beban subsidi. Pembatasan pengguna BBM subsidi yang dibarengi dengan pengawasan yang ketat dan sanksi hukum kepada pelanggar. Selain itu jangan bermimpi masalah subsidi ini akan selesai, dan tahun ke tahun akan terus berjalan dan hanya sekedar celotehan jabatan semata.
Jakarta, 18 Agustus 2022