Jakarta, OG Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali mengeluhkan jebolnya kuota BBM subsidi. Pasalnya, konsumsi BBM Pertalite hingga Juli 2022 sudah mencapai 16,8 juta kilo liter (KL) setara dengan 73,04% dari total kuota ditetapkan sebesar 23 juta KL, sehingga hanya tersisa 6,2 KL.
Menurut Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi, kalau upaya pembatasan konsumsi Pertalite tidak berhasil, maka kuota BBM subsidi pasti jebol paling lama pada akhir Oktober 2022.
"Tidak bisa dihindari Pemerintah akan dihadapkan pada dilema yang sulit. Jika menambah kuota BBM subsidi, beban APBN untuk subsidi bisa semakin membengkak hingga melebihi Rp600 triliun. Jika tidak menambah kuota BBM subsidi, maka kelangkaan akan terjadi di berbagai SPBU, yang berpotensi menyulut keresahan sosial," ucap Fahmy, Jumat (12/8/2022).
Dalam kondisi tersebut, Fahmy mengeluhkan Menteri ESDM Arifin Tasrif yang hanya bisa menghimbau agar orang kaya tidak menggunakan BBM subsidi.
"Tasrif yang biasanya irit bicara, sekali berbicara tidak punya makna sama sekali. Alasannya, konsumen adalah makhluk rasional yang mempunyai price elasticity akan tetap mengkonsumsi BBM dengan harga lebih murah selama belum ada larangan," ujarnya.
Fahmy menegaskan bahwa Menteri ESDM melupakan LPG 3 Kg yang pada tabung melonnya tertulis “hanya untuk orang miskin”. "Faktanya lebih 60 persen kosumen yang bukan miskin tetap mengkonsumsi gas melon karena distribusi terbuka," jelasnya.
Menurut Fahmy, hanya pembatasan yang tegas dan lugas yang dapat mencegah jebolnya kuota BBM subsidi. "MyPertamina tidak akan berhasil membatasi BBM subsidi agar tepat sasaran. Bahkan, justru menimbulkan ketidaktepatan sasaran dan ketidakadilan bagi konsumen yang tidak punya akses," tuturnya.
Fahmy menyarankan dua kebijakan yang dapat mencegah jebolnya BBM bersubsidi. "Pertama, tetapkan segera dalam Perpres bahwa hanya sepeda motor dan kendaraan angkutan orang dan angkutan barang yang diperbolehkan menggunakan Pertalite dan Solar," tegasnya.
"Kedua, turunkan disparitas yang menganga antara harga Pertamax dan Pertalite, dengan menaikkan harga Pertalite dan menurunkan harga Pertamax secara bersamaan maksimal selisih harga sebesar Rp. 1.500 per liter," ucapnya.
Kebijakan harga tersebut, menurut Fahmy akan mendorong konsumen Pertalite migrasi ke Pertamax secara suka rela. "Perlu juga dilakukan komunikasi publik secara besar-besaran bahwa penggunaan Pertamax sesungguhnya lebih baik untuk mesin kendaraan dan lebih irit," tambahnya.
Dia pun mengingatkan bahwa untuk mencegah jebolnya kuota BBM bersubsidi tidak bisa hanya dilakukan dengan mengeluh dan menghimbau saja. "Namun perlu kebijakan tegas dan lugas yang segera diberlakukan, tidak mundar-mundur saja," tutup Fahmy. RH