Rizal Kasli, Ketua Umum PERHAPI.
Jakarta, OG Indonesia -- Rencana Pemerintah membentuk Badan Layanan Umum (BLU) guna memastikan kesediaan kebutuhan batu bara dalam negeri perlu dikaji dan disosialisaikan lebih mendalam sebelum diterapkan. Hal ini guna menghindari pengambilan kebijakan yang reaktif dan kondisional. Sebuah kebijakan haruslah bermanfaat secara jangka panjang dalam berbagai kondisi.
Hal ini diungkapkan oleh Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) dalam menyikapi pembentukan BLU di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menurut PERHAPI, BLU yang akan dibentuk akan meninggalkan permasalahan baru dalam iklim investasi di Indonesia, khususnya di bidang pertambangan. Selain itu, pengelolaan dana yang begitu besar, juga menjadi tantangan tersendiri.
“Ada beberapa hal yang menjadi perhatian. Kebijakan dan peraturan yang kerap berubah dan cenderung reaktif, akan menyebabkan kepastian hukum dan kepastian berinvestasi di Indonesia menjadi lemah. Apalagi, jika sebuah kebijakan didasari oleh variabel harga komoditi yang tidak bisa dipastikan fluktuasinya, termasuk harga batu bara. Tidak ada jaminan bahwa harga batu bara akan tetap tinggi, seperti saat ini. Artinya, jika harga batu bara jatuh, maka kebijakan ini tidak dapat diterapkan lagi,” ungkap Ketua Umum PERHAPI Rizal Kasli dalam siaran persnya, Kamis (7/7/2022).
Rizal menambahkan, jika alasannya adalah memastikan tidak terulangnya kelangkaan pasokan batu bara di dalam negeri, maka sejatinya mekanisme dan ketentuan mengenai DMO yang selama ini diterapkan, sudah bisa dijadikan instrumen untuk memastikan pemenuhan pasokan batu bara untuk PLN dan industri dalam negeri.
Menurutnya, hanya dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat, dan penegakan hukum yang tegas atas perusahaan yang tidak patuh. Perusahaan yang tidak memenuhi kuota DMO yang telah disepakati bersama sebesar 25% dari total produksi, pemerintah dengan kewenangannya dapat menghentikan kegiatan ekspor batu bara dari perusahaan tersebut. Kecuali perusahaan yang memiliki kualitas batu bara yang tidak sesuai spesifikasi DMO, dapat dikenakan dana kompensasi. Karena itu menurutnya, BLU bukan hal yang mendesak.
“Tugas dan kewenangan BLU ini cukup besar. Badan ini bertugas memungut biaya kompensasi atas selisih harga batu bara Domestic Market Obligation (DMO) dengan harga batu bara di luar negeri. Dengan skema tertentu, jika asumsi HBA rata-rata USD200/ton, dana kompensasi yang dapat dikumpulkan BLU diestimasi sekitar Rp.137,6 triliun,” jelas Rizal.
Nantinya, model pengelolaan dana hasil pungutan, mirip dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang mendukung program mandatori B30. Dalam pelaksanaannya, PLN akan membeli lebih dahulu batu bara ke penambang sesuai harga pasar, lalu selisihnya akan dikembalikan dari kutipan BLU kepada PLN.
“Nah, mekanisme dan besaran pungutan yang akan dikenakan, serta bagaimana bentuk penyaluran serta penggunaan dana ini perlu diperjelas. Aspek tata kelola, akuntabilitas dan transparansi menjadi penting, agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewenangan. Presiden Jokowi sendiri pernah mengatakan bahwa dengan perpanjangan birokrasi dikuatirkan akan muncul korupsi-korupsi baru,” tambah Rizal lagi.
Menurut PERHAPI, kewajiban pengusaha pertambangan batu bara kepada negara sebenarnya telah diatur dengan tegas dan jelas, melalui pungutan pajak dan royalti yang besarannya berlaku progresif tergantung harga batu bara, serta jenis izin pengusahaannya. Keuntungan dari kenaikan harga melalui peningkatan pemasukan negara pun kembali kepada PLN melalui subsidi energi.
Artinya, hal ini sudah berjalan dan tidak diperlukan kebijakan atau sistem baru. Untuk itu, PERHAPI menegaskan bahwa batu bara sebagai kekayaaan yang dikuasai oleh negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945, prioritas penggunaan adalah untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Dengan mekanisme DMO, pada dasarnya perusahaan batu bara telah memenuhi amanat UUD 1945 tersebut.
Sementara dalam kontek BLU, Rizal menilai jika BLU ini diterapkan maka diperlukan sistem, mekanisme dan instumen yang andal dan jelas agar skema BLU dapat diterapkan dengan benar. Pengaturan besaran denda dan kompensasi sudah diatur oleh PMK No.17/PMK.02/2022, namun petunjuk pelaksana atau teknis terkait pungutan tersebut, belum sepenuhnya disosialisasikan kepada pemegang ijin pertambangan batu bara. R2