Jakarta, OG Indonesia -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) curhat bahwa kebijakan Pemerintah untuk menahan harga bahan bakar minyak (BBM) semakin berat karena jumlah subsidi yang digelontorkan bukan hanya besar, tetapi besar sekali. Bahkan bisa dipakai untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) lantaran subsidi itu sudah mencapai Rp 502 triliun.
"Besar sekali bisa dipakai untuk membangun ibukota satu. Karena angkanya sudah Rp502 triliun rupiah. Ini semua kita harus ngerti. Sampai kapan kita bisa bertahan dengan subsidi sebesar ini?" ucap Jokowi saat rakernas II DPP PDIP di Jakarta, Selasa (21/6/2022) seperti dikutip Tirto.id.
Menurut Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi, membengkaknya beban subsidi lebih disebabkan oleh meroketnya harga minyak dunia yang menjadi variabel utama pembentuk harga BBM. Di mana harga minyak dunia mencapai US$105 per barel, sedangkan asumsi ICP (Indonesia Crude Oil) APBN ditetapkan sebesar US$63 per barel.
"Selisih ICP dengan harga minyak dunia itulah yang merupakan subsidi menjadi beban APBN, akibat kebijakan Pemerintah tidak menaikkan harga BBM," jelas Fahmy kepada OG Indonesia, Rabu (22/6/2022).
Kendati demikian Fahmy juga menyebutkan bahwa curhatan Presiden Jokowi tersebut salah sasaran. Sebab selama ini masalah subsidi dan kompensasi seolah tidak pernah ada solusinya, kecuali hanya pada tataran wacana saja. "Untuk menekan menggelembungnya subsidi dan kompensasi BBM, ada beberapa upaya yang sebenarnya bisa dilakukan," ucap Fahmy,
Diuraikan olehnya, pertama bisa dengan penetapan harga Pertamax dan produk BBM lain di atasnya untuk diserahkan kepada Pertamina untuk menetapkannya sesuai harga keekonomian. "Sehingga negara tidak harus membayar kompensasi akibat adanya perbedaan harga ditetapkan dengan harga keekonomian," terangnya.
Lalu yang kedua, lanjut Fahmy, bisa ditetapkan pembatasan untuk penggunaan Pertalite dan Solar dengan kriteria yang sederhana dan operasional di lapangan. "Tetapkan saja bahwa pengguna Pertalite dan Solar hanya untuk Sepeda Motor dan Kendaran Angkutan," tegasnya.
Dan saran Fahmy yang ketiga adalah dengan menghapus BBM RON 88 Premium. Alasannya, kendati penggunaan Premium sudah dibatasi hanya di luar Jamali, namun impor dan subsidi contents Premium masih cukup besar, yang juga menambah beban APBN.
Fahmy mengatakan, ketimbang Presiden curhat terkait besaran subsidi BBM yang sudah given, akan lebih produktif bagi Jokowi untuk mengupayakan subsidi yang lebih tepat sasaran sehingga dapat mengurangi beban APBN.
"Jika beban subsidi BBM dapat diturunkan, dana subsidi itu dapat digunakan untuk membiayai pembangunan IKN. Upaya itu sesungguhnya pernah dilakukan Jokowi di periode pertama pemerintahannya dengan memangkas subsidi BBM dalam jumlah besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur," tutup Fahmy. RH