Foto: Hrp
Canberra, OG Indonesia -- Studi terbaru yang diterbitkan oleh Australian National University (ANU) dengan memodelkan sektor batu bara di China menunjukkan implikasi dari rencana dekarbonisasi dan skenario ketahanan energi (energy security) negara itu akan mengurangi impor batu bara secara drastis terutama dari Australia dan Indonesia. China adalah konsumen batu bara terbesar di dunia dan merupakan sumber pendapatan yang signifikan bagi eksportir utama di kawasan Asia-Pasifik.
Rencana China untuk menargetkan emisi nol bersih (net-zero emission) pada tahun 2060, dengan target puncak emisi sebelum tahun 2030, dipastikan akan memangkas konsumsi batu bara negara itu. Di sisi lain, China juga sedang gencar membangun infrastruktur transportasi untuk mendapatkan batu bara dari tambang domestik ke industri baja dan pembangkit listriknya. Hal itu bertujuan karena ingin mengurangi ketergantungan pada impor batu bara.
Studi ANU memproyeksikan, bahwa impor batu bara termal China, yang sebagian besar berasal dari Indonesia dan Australia, diperkirakan akan berkurang dari 185 juta ton pada tahun 2019 menjadi antara 95 dan 130 juta ton pada tahun 2025. Impor batu bara berkalori tinggi (kokas) yang sebagian besar berasal dari Australia, juga diperkirakan menurun dari 34 juta ton pada tahun 2019 menjadi sekitar 23 – 25 juta ton pada tahun 2025.
Jorrit Gosens, Dosen Senior Australian National University mengatakan, hasil studinya menunjukkan investasi China dalam pembangunan infrastruktur transportasi batu bara kemungkinan akan menghasilkan pengurangan impor batu bara dalam beberapa tahun ke depan.
“China telah berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur transportasi batu bara selama bertahun-tahun, untuk mengurangi ketergantungan pada energi asing. Gejolak yang terbaru di pasar energi global justru hanya akan memperkuat tekad China untuk mengurangi ketergantungannya pada impor batu bara,” kata Gosens seperti dikutip dalam keterangannya, Kamis (21/4/2022).
Impor batu bara China yang melalui jalur darat, seperti dari Rusia diperkirakan akan tetap relatif stabil, sementara impor dari Mongolia akan tumbuh kuat, karena perluasan koneksi kereta api China ke Mongolia dan perluasan tambang Mongolia. Impor batu bara kokas dari Mongolia diperkirakan akan melonjak menjadi sekitar 20 juta pada tahun 2025. Proyeksi penurunan permintaan China atas impor batu bara seaborne ini bertepatan dengan ambisi mereka untuk meningkatkan ketahanan energi.
Saat ini China menjadikan penguatan pasokan energi sebagai prioritas utama kebijakan mereka, hal ini menyikapi krisis kelangkaan listrik yang terjadi di beberapa provinsi pada tahun lalu dan gejolak di pasar global. Pada bulan Maret, pemerintah pusat China mengumumkan untuk lebih meningkatkan produksi batu bara domestik menjadi 12 juta ton per hari, sehingga memungkinkan produksi tahunan sebesar 4,38 miliar ton. Rencana Lima Tahun Energi ke-14 China juga menginstruksikan untuk meningkatkan infrastruktur transportasi terkait batu bara.
Tren ini menimbulkan dampak besar pada volatilitas perdagangan batu bara global, terutama apabila dikaitkan dengan pengurangan impor batu bara dari Rusia oleh Uni Eropa. China adalah importir batu bara terbesar di dunia, diikuti oleh India dan Jepang. Pada tahun 2021, China mengimpor hampir 324 juta metrik ton batubara termal, yang merupakan lebih dari 50% impor batubara global, menurut data Bloomberg. Dimana Indonesia (62%) dan Rusia (17%) bersama-sama menyumbang sekitar 80% dari impor batubara China pada tahun 2021.
Seperti yang disoroti dalam studi ANU ini, penurunan permintaan batu bara lintas laut dari China memiliki konsekuensi bagi eksportir untuk mencari pasar lain. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya persaingan antara negara-negara pengekspor utama lainnya seperti Afrika Selatan, AS, dan Columbia.
Simon Nicholas, Analis Energy Finance, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengatakan, sebagai importir batu bara terbesar di dunia, setiap pengurangan yang signifikan terhadap impor batu bara oleh China akan memiliki konsekuensi besar di seluruh perdagangan batu bara lintas laut global. China adalah eksportir terbesar pasar untuk Indonesia - eksportir batu bara termal terbesar di dunia. Pengurangan impor batu bara oleh China akan membuat Indonesia berusaha untuk bersaing lebih kuat dengan eksportir seperti Australia dan Afrika Selatan di pasar lain.
“Prospek penurunan jangka panjang untuk batu bara melalui lintas laut tak terelakkan. Potensi pertumbuhan pasar untuk batu bara seperti Bangladesh, Pakistan dan Vietnam tampaknya jauh lebih kecil daripada yang diharapkan oleh eksportir batu bara. Ketika importir batu bara yang sudah mapan seperti Jepang, Korea Selatan, dan terutama China mau tidak mau mulai mengurangi impor, maka perdagangan batu bara lintas laut akan turun lebih cepat daripada konsumsi batu bara global secara keseluruhan," tukasnya. RH