Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS. |
Jakarta, OG Indonesia -- Masuknya investasi di sektor pertambangan termasuk pada industri pengolahan dan pemurnian menimbulkan permasalahan baru. Salah satunya terkait jumlah tenaga kerja asing khususnya dari Cina yang datang dalam jumlah besar. Pemerintah selama ini dinilai telah memberi banyak kemudahan mulai dari proses perizinan, fasilitas perpajakan dan tenaga kerja murah.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, kendati investasi Cina membanjiri Indonesia namun sesungguhnya dampak dan manfaatnya tidak optimal karena alat dan perlengkapan hingga tenaga kerjanya sebagian besar berasal dari Cina. “Indonesia akhirnya hanya mendapat sampah dari industri nikel,” tegas Marwan dalam diskusi bertajuk "Kupas Tuntas Seputar Manipulasi Investor Smelter Cina di Indonesia" yang diadakan oleh IRESS, PEPS dan Aspek Indonesia, Rabu (2/3/2022).
Selain Marwan Batubara dari IRESS, turut mengisi acara diskusi yang berlangsung secara hybrid ini antara lain Anthony Budiawan (Managing Director Political Economy and Policy Studies/PEPS) dan Mirah Sumirat (Presiden Asosiasi Serikat Pekerja/ASPEK Indonesia).
Marwan membeberkan, selama beberapa tahun ini perusahaan CIna mengeruk sumberdaya alam Indonesia dengan harga yang sangat murah. Setelah diolah menjadi produk setengah jadi berupa Nickel Pig Iron (NPI) kemudian diekspor ke Cina. NPI hanya memiliki kadar 4-9% yang berarti nilai tambah masih sangat rendah dibandingkan nilai tambah yang didapat negara China.
Pemerintah sendiri menurutnya terus berupaya untuk menarik sebanyak-banyaknya investasi asing masuk ke tanah air. Beragam tawaran disuguhkan kepada para investor di antaranya adalah segala kemudahan dalam proses perizinan, fasilitas perpajakan dan tenaga kerja murah.
“Segala fasilitas tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh korporasi asal Cina dengan dalih investasi, tetapi pada kenyataannya tak serupiah pun uang masuk ke tanah air. Mereka (para korporasi asal Cina) memang membangun pabrik pengolahan (smelter) nikel di berbagai tempat, namun semua alat dan perlengkapan hingga tenaga kerjanya dibawa dari negara mereka. Lantas, Indonesia dapat apa?” tanya Marwan.
Dia juga menekankan permasalahan yang lebih krusial yaitu penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Dengan dalih tenaga kerja lokal tidak memiliki skill yang dibutuhkan, mereka mengimpor tenaga kerja dari Cina. Padahal, tenaga kerja yang mereka datangkan tidak sesuai dengan regulasi di Indonesia.
“Mayoritas dari tenaga kerja asing yang mereka datangkan adalah pekerja kasar yang di dalam negeri sangat berlimpah seperti Satpam, tukang las, operator alat berat, supir, dan lainnya,” ujar Marwan.
Ia mengungkapkan, PT Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) telah mengumumkan perekrutan di dua media berbahasa mandarin. Dari kedua media tersebut diketahui bahwa tawaran gaji yang diberikan sangat tinggi
dibandingkan gaji bagi pekerja lokal. Sebagai contoh, untuk pekerjaan sebagai satuan pengaman diberikan gaji sebesar 10.000 yuan atau setara dengan Rp 22.800.000,- (kurs 1 yuan = Rp 2.280).
Dari data yang diperoleh IRESS, tingkat pendidikan tenaga kerja asing asal Cina yang bekerja di industri nikel tanah air komposisinya adalah sebagai berikut, SD 8%, SMP 39% dan SMA 44%. Lulusan D3/S1 hanya 2% dan berlisensi khusus 7%. Dari komposisi tersebut, yang bekerja di smelter OSS kualifikasi TKA-nya adalah lulusan SD 23%, SMP 31% dan SMA 25%, lulusan D3/S1 17% dan TKA berlisensi khusus hanya 4%. Sedangkan pada VDNI hanya 1 dari 608 orang TKA yang memenuhi syarat pengalaman kerja 5 tahun.
“Permasalahan tidak hanya pada pelanggaran hukum ketenagakerjaan serta keimigrasian, namun untuk mengelabui hukum-hukum yang berlaku di Indonesia dan menutupi kejahatan ketenagakerjaan, maka sistem pembayaran gaji para TKA Cina dibayarkan kepada keluarganya di negara asalnya Cina. Sehingga uang para pekerja tersebut tidak beredar di Indonesia dan tentunya terbebas dari PPH,” ujar Marwan.
IRESS memperkirakan potensi kerugian negara akibat manipulasi pajak dan DKPTKA sekitar Rp 37,92 juta per TKA per tahun. Jika jumlah TKA Cina yang bekerja adalah 5.000 orang, maka potensi kerugian negara adalah Rp 189 miliar per tahun. Jika diasumsikan jumlah smelter 20 buah (@ 5000 TKA), maka total potensi kerugian negara Rp 3,78 triliun per tahun.
“Apa yang terjadi pada perusahaan smelter VDNI dan OSS patut diduga menjadi modus operandi berbagai investasi Cina lainnya yang beroperasi di Indonesia, sehingga perlu dilakukan audit secara menyeluruh,” tegas Marwan. RH