Jakarta, OG Indonesia -- Melansir data dari Kementerian Kesehatan, penyanitasi tangan atau hand sanitizer menjadi salah satu komoditas yang penjualannya meningkat selama masa pandemi selain masker dan thermometer. Peningkatan permintaan penyanitasi tangan tercatat naik sekitar 955 persen sejak Februari 2020. Di awal pandemi, produk penyanitasi tangan juga sempat dilanda kelangkaan.
Sementara itu, survey yang dilakukan oleh platform pembanding harga, Telunjuk.com, menunjukkan di awal pandemi terjadi kenaikan harga produk penyanitasi tangan di berbagai e-commerce hingga 81,12 persen. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui surat edarannya kemudian menghimbau masyarakat untuk memproduksi penyanitasi tangan sesuai pedoman World Health Organization (WHO), yakni dengan mencampurkan berbagai bahan kimia yang dianggap efektif untuk membunuh kuman seperti alkohol, hidrogen peroksida, dan gliserol.
Dosen Program Studi Kimia Universitas Pertamina, Suharti, mengatakan, terdapat alternatif metode pembuatan penyanitasi tangan berbahan limbah rumah tangga yang mudah dan murah. “Limbah yang bisa dimanfaatkan adalah sisa sayuran dan buah-buahan yang sudah melalui proses fermentasi. Efektivitasnya setara dengan produk serupa berbahan dasar kimia,” ungkap Suharti dalam wawancara daring, Selasa (22/2/2022).
Suharti dan tim peneliti yang terdiri dari asisten laboratorium dan mahasiswa Program Studi Kimia, telah mengembangkan metode pembuatan penyanitasi tangan dengan bahan limbah rumah tangga ini sejak bulan Juli 2021. Proses pembuatan produk penyanitasi tangan ini dilakukan di Laboratorium Kimia Terintegrasi Universitas Pertamina dan saat ini telah menghasilkan 100 liter penyanitasi tangan.
Proses pembuatan penyanitasi tangan berbahan limbah rumah tangga ini cukup sederhana. Sampah sayuran dan buah-buahan terlebih dahulu dibersihkan, kemudian direndam dengan gula merah atau molase, lalu disimpan pada ember yang tertutup.
“Proses fermentasi ini dilakukan untuk mendapatkan eco-enzim, yang memiliki fungsi seperti alkohol yakni sebagai desinfektan. Semakin beragam limbah sayur dan buah yang digunakan, semakin beragam endofit atau mikroorganisme untuk menghasilkan eco-enzim,” tutur Suharti.
Pada minggu pertama proses fermentasi, lanjut Suharti, wadah tersebut harus dibuka untuk mengeluarkan gas yang ada di dalamnya. Kemudian, wadah harus dibuka kembali pada usia 30 hari untuk melepaskan gas dan mengecek keberhasilan proses fermentasi. Kegagalan fermentasi biasanya terjadi akibat udara yang tidak bersih sehingga dianjurkan untuk menyimpan fermentasi jauh dari tempat sampah.
“Alkohol yang tercipta pada minggu pertama proses fermentasi berubah menjadi asam asetat secara alami. Setelah proses fermentasi selesai, eco-enzim yang telah dihasilkan dicampur air dengan perbandingan 1:400, yaitu 1ml eco-enzim untuk 400ml air,” papar Suharti.
Selain lebih ramah lingkungan karena tidak mengandung bahan kimia, riset dari Department of Chemical Engineering, National Institute of Technology Tiruchirappalli, India, menyebutkan limbah rumah tangga yang difermentasi juga berpotensi menghasilkan metana atau hidrogen yang berfungsi sebagai antiseptik (C. Arun dan P. Sivashanmugam, 2015). Artinya, efektivitasnya akan setara dengan produk antiseptik berbahan dasar alkohol.
Ke depan, menggunakan metode yang sama, Suharti dan tim berencana memproduksi pengharum ruangan dari ekstrak bunga, kulit jeruk, dan bahan alami lainnya. Eco-enzim yang dihasilkan dari bahan-bahan alami tersebut juga memiliki fungsi lain yakni sebagai penghilang kuman. RH