Foto: Hrp
Oleh: Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS)
Penyebab krisis pasokan batubara pembangkit listrik PLN yang mengancam pemadaman listrik 10 juta pelanggan adalah para pengusaha dan penguasa oligarkis yang hanya berburu untung besar saat harga batubara dunia naik. Kegagalan dan kejahatan tersebut coba ditutupi dengan “menyodorkan sejumlah kambing hitam” sebagai biang kerok. Salah satu pejabat yang menjadi korban adalah Direktur Energi Primer PLN, Rudy Hendra Prastowo.
“Biang kerok” berikut yang “disuguhkan” adalah anak usaha PLN, yakni PLN Batu Bara (PLNBB) yang dicitrakan negatif karena berbisnis dengan trader (diasosiasikan dengan praktik bisnis kotor), membeli batubara dengan harga lebih mahal, memberatkan biaya operasi induknya (PLN), dan gagal mencapai target volume pembelian batubara. Citra negatif PLNBB yang sengaja disebar ini sarat kebohongan (telah diuraikan dalam artikel IRESS #2) dan bernuansa fitnah yang layak digugat rakyat.
Berikut disebar pula informasi miring tentang PT Pelayaran Bahtera Adhiguna (PBA) yang mengangkut batubara PLN. Dikatakan, PBA sering gagal membayar produsen batubara tepat waktu, membuat manajemen PLN tidak fokus bisnis listrik, menerapkan skema FOB (free on board: harga barang), bukan CIF (Cost, Insurance dan Freght: Harga Barang + Asuransi + Ongkos Kirim), dll. Penyebaran info miring ini, di samping membuat PBA jadi kambing hitam, juga sekaligus sebagai upaya memuluskan jalan oligraki menguasai bisnis transprotasi batubara PBA yang “captive dan profitable” (bernilai sekitar US 500juta/tahun).
LBP secara khusus meminta perubahan skema pengiriman batubara dari FOB ke CIF. LBP bilang, skema CIF perlu diterapkan agar semua beban pengiriman dan logistik jadi tanggung-jawab pemasok, sehingga PLN bisa fokus ke bisnis inti menyediakan listrik. Kata LBP, ke depan PLN tidak diizinkan membeli batubara dari trader, tapi harus dari produsen. "Kita benahi banyak betul ini nanti, PLN tidak ada lagi FOB semua CIF, tidak ada lagi PLN trading dengan trader, jadi semua harus beli dari perusahaan," kata LBP (10/01/2022).
Padahal PBA diakuisisi PLN agar batubara bagi PLN tersedia secara efektif, efisien dan andal (security of supply). Menurut seorang mantan direksi PLN, efisiensi yang diperoleh dapat mencapai 10%, antara lain berasal dari perizinan dan pajak. Saham PBA 100% milik PLN, yang dibeli dari PTBA pada tanggal 5 Agustus 2011 dari PT Bukit Asam (PTBA) yang saat itu sedang direstrukturisasi. Menteri BUMN saat itu mendukung sinergi PBA yang berpengalaman mengangkut batubara dengan PLN yang membutuhkan pasokan batubara.
Baik PLNBB maupun PBA (dikenal juga dengan nama BAG) adalah anak usaha 100% milik PLN. Jika keduanya untung, maka PLN juga untung dan berpengaruh pada perhitungan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Ujungnya seluruh konsumen listrik akan memperoleh manfaat. Sebaliknya, jika PBA dilenyapkan (demi oligarki!), skema pengiriman berubah dari FOB ke CIF, maka minimal, keuntungan yang biasanya diperoleh PBA hilang, biaya transportasi naik dan security of supply juga ternacam, maka BPP/tarif listrik pun akan naik.
Oleh sebab itu, terkait alasan pengalihan/pelenyapan PLNBB dan PBA yang diumbar Erick Thohir dan LBP, kita sebagai rakyat pantas menggugat. PLNBB dan PBA didirikan untuk memasok kebutuhan batubara secara efisien, efektif dan andal bagi PLN, dan hal ini terbukti telah memberikan untung yang berkelanjutan bagi PLN. Untuk LBP, kita ingatkan, bahwa krisis batubara PLN terjadi karena disebabkan karena keserakahan pengusaha oligarkis dan kealpaan pemerintah menegakkan peraturan. Krisis tersebut tidak ada hubungan dengan skema pengiriman secara FOB. Justru jika skema dirubah menjadi CIF, biaya operasi PLN menjadi naik, dan hal ini akan dirasakan rakyat dalam bentuk kenaikan tarif listrik!
Terkait rencana “pelenyapan PLNBB dan PBA agar manajemen PLN fokus menjalankan bisnis listrik”, kita ingin mengungkap fakta berikut. PLNBB dan PBA dikelola oleh para professional di bidang masing-masing dan hal ini jelas bukan menjadi beban manajemen PLN, tetapi malah mendukung manajemen menjadi lebih efisien dan efekif. Keuntungannya pun telah dinikmati PLN (baca: rakyat). Pendirian anak-anak usaha sebagai “sayap” bisnis merupakan hal yang lumrah dilakukan perusahaan besar, sebagaimana dilakukan oleh ASTRA yang memiliki begitu banyak sayap bisnis, namun terintegrasi secara sinergis untuk meraih untung korporasi yang lebih besar.
PLN, PLNBB dan PBA merupakan BUMN yang mengelola usaha dan pelayanan strategis menyangkut hajat hidup orang banyak, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Pengelolaan sektor usaha tersebut akan untuk “dipreteli” atau di-unbundle dengan alasan sumir. Namun di balik alasan itu tersimpan agenda agar bisnis tersebut dapat dikelola seluruh atau sebagian oleh swasta/oligarki.
Rencana holdingisasi PLN, termasuk di dalamnya melenyapkan PLNBB dan PBA, guna digabung ke dalam sub-sub holding, dan sahamnya dijual, adalah bagian dari privatisasi BUMN, guna memberi akses bagi para pemodal dan oligarki meraih untung, yang seharusnya 100% dinikmati rakyat. Selain merampok keuntungan milik seluruh rakyat, secara teoritis dan parktis, skema unbundling bisnis pasti membuat biaya operasi dan tarif pelayanan naik!
Rakyat paham sejumlah pengusaha batubara melanggar aturan yang jadi penyebab krisis batubara PLN. Jika benar bekerja untuk negara dan sesuai prinsip GCG, mestinya pemerintah merilis secara terang benderang perusahaan mana saja yang membangkang kewajiban DMO, serta memberi mereka sanksi yang setimpal dan menimbulkan efek jera. Namun terkesan pemerintah melindungi para pengusaha pelanggar hukum tersebut. Rakyat tidak butuh pengumuman daftar perusahaan yang patuh.
Pada 19 Januari 2022, pemerintah menerbitkan Kepmen ESDM No. 13.K.HK.02.MEM.B tentang Pedoman Pengenaan Sanksi Administratif, Pelarangan Penjualan Batubara Ke Luar Negeri, dan Pengenaan Denda Serta Dana Kompensasi Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri. Tenyata kita tidak menemukan secara spesifik perusahaan mana saja yang melanggar DMO. Selain itu, besarnya sanksi yang dikenakan juga tidak signifikan, tidak sebanding dengan pelanggaran yang dilakukan dan tidak pula menimbulkan efek jera. Kepmen tersebut tampaknya hanya trik untuk mengamankan kepentingan sesama oligarki.
Sebelum Kepmen bernuansa basa-basi di atas terbit, huru-hara larangan ekspor batubara menjadi sangat riuh dengan tampilnya LBP dan Ercik Thohir. Penampilan pejabat bak pahlawan ini telah memakan korban-korban yang disebut sebagai biang kerok krisis. Mereka mengusung pula berbagai “kebijakan dan program perbaikan”. LBP misalnya mengatakan pembelian batubara dari trader dihapus, skema FOB akan diganti dengan CIF, harga DMO US$ 70 akan dirubah dengan harga pasar, dan BLU akan didirikan. Erick antara lain mengatakan, PNBB akan dihapus dan PLN akan diholdingisasi.
Ternyata yang diusung bukan kebijakan dan program perbaikan. Sebab di samping melanggar konstitusi, ujung dari kebijakan dan program yang diusung akan membuat BUMN terpasung, bisnis digrogoti, biaya operasi meningkat, sebagian untung beralih ke swasta/oligarki, dan kelak, tarif listrik yang harus dibayar rakyat akan meningkat. Negara dan rakyat jelas akan dirugikan! Sebaliknya, kebijakan bernuansa NONSENSE, pro neoliberal dan sarat rekayasa tersebut akan menguntungkan para pemodal dan oligarki kekuasaan.
Kita dapat simpulkan bagaimana peran pemerintahan oligarkis dalam skandal ekspor batubara. Para pengusaha serakah pelanggar kewajiban DMO dibiarkan kembali berbisnis as usual, tanpa ketegasan sanksi hukum. Jangankan bicara sanksi finansial yang adil dan berefek jera, mengumumkan daftar perusahaan pelanggar DMO saja tak mampu. Setelah itu, mereka, para oligarki, bersiap menghancurkan bisnis BUMN yang dijamin konstitusi dan berdampak pada tarif listrik yang naik. Jangan salahkan kalau rakyat mengatakan pemerintah melindungi konglomerat dan bekerja untuk para pengusaha oligarkis. Rakyat akan tak akan berhenti menggugat![]
Jakarta, 21 Januari 2022