Jakarta, OG Indonesia -- Serikat Pekerja di sektor ketenagalistrikan seperti Serikat Pekerja PT PLN (Persero) atau SP PLN, Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PP IP), dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB) kompak menolak upaya holdingisasi dan rencana Kementerian BUMN yang berniat melakukan privatisasi terhadap usaha-usaha ketenagalistrikan yang saat ini masih dimiliki oleh PLN dan anak usahanya, yaitu melalui pembentukan holding aset pembangkit dan selanjutnya dijual sebagian sahamnya melalui IPO.
Andy Wijaya, Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai PT
Indonesia Power (PP IP), mengungkapkan bahwa saat ini ada upaya dari Kementerian BUMN
untuk melakukan holdingisasi terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
(PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uang (PLTU). Cara melakukan privatisasi tersebut adalah
dengan menggabungkan beberapa BUMN dan anak perusahaan melalui pembentukan
Holding.
Untuk holding company PLTP atau geothermal, akan
digabung empat BUMN dan anak perusahaannya yaitu PT Pertamina Geothermal Energy
(PGE), Unit PT PLN (Persero) yaitu PLTP Ulebelu Unit #1 & #2; PLTP
Lahendong Unit #1 s.d #4, PT Indonesia Power (Anak Perusahaan PT PLN (Persero))
yaitu PLTP Kamojang Unit #1 s.d #3, PLTP Gunung Salak Unit #1 s.d #3, dan PLTP Darajat
serta PT Geo Dipa Energi.
“Dari berita yang beredar yang menjadi pimpinan (holding
geothermal) adalah Pertamina Geothermal Energy, dan rencana establish di
Agustus 2021,” ucap Andy dalam konferensi pers bersama serikat pekerja di
lingkungan PLN, Selasa (27/7/2021).
Pihak SP-SP di lingkungan PLN mempertanyakan rencana holdingisasi
PLTP yang akan menjadikan PGE sebagai induk holding. “Padahal PT PLN (Persero),
khusus untuk EBT saat ini telah terbukti menyediakan listrik secara affordable,
andal, dan hijau bagi masyarakat. Dan juga PLN terbukti mengoperasikan dan
mengelola PLTP selama 39 tahun. Ini jadi pertanyaan kita semua, kenapa
holdingnya malah diserahkan kepada pihak yang minim dalam pengelolaan PLTP,” papar
Andy.
Dilanjutkan olehnya, jika merujuk pada pertimbangan hukum
Mahkamah Konstitusi terkait dengan Putusan judicial review UU
Ketenagalistrikan, disebutkan bahwa untuk usaha ketenagalistrikan maka yang
menjadi Holding Company-nya adalah PT PLN (Persero).
“Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan
negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi
dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD)
sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang
masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi
jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan
BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”,” demikian bunyi Putusan MK Perkara
No. 001-021-022/PUU-I/2003 dan Perkara No. 111/PUU-XIII/2015.
Selain itu, Serikat Pekerja di lingkungan PLN juga
mempermasalahkan holdingisasi PLTU milik PLN, PT Indonesia Power, dan PT
Pembangkitan Jawa Bali. Saat ini, rencana holdingisasi PLTU ini memasuki posisi
pengumpulan data-data. Tetapi ditengarai hanya aset-aset PLTU yang ada di area
di Pulau Jawa. Untuk informasi, biaya BPP pembangkitan daerah Jawa merupakan
harga BPP tahun 2018 paling rendah yaitu di kisaran Rp. 984-989,-/kWh.
“Kami mengkhawatirkan, apabila terjadi pelepasan aset menjadi perusahaan baru yaitu pembangkit listrik tenaga uap dan di-IPO-kan, maka fungsi penyeimbang tarif listrik yang saat ini dipegang oleh backbone di PLTU Jawa akan menjadi hilang dan menjadi bebas sesuai prinsip bisnis murni,” bebernya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, SP PLN Group pun dengan tegas
menolak rencana holdingisasi PLTP maupun PLTU bila bukan PLN yang menjadi
Holding Company-nya, karena berpotensi timbulnya
pelanggaran terhadap makna penguasaan negara sesuai konstitusi. “Serikat
pekerja di PLN Group juga menolak keras rencana Kementerian BUMN yang berniat untuk
melakukan privatisasi dengan cara IPO kepada usaha-usaha ketenagalistrikan yang
saat ini masih dimiliki oleh PT PLN (Persero) dan anak usahanya,” tambahnya.
Menurutnya, IPO (Initial Publik Offering) adalah suatu
kegiatan yang pada dasarnya menjual saham yang dimiliki suatu perusahaan kepada
pihak lain (swasta). Diterangkan Andy, ini adalah bentuk privatisasi atau
masuknya kepemilikan privat (perorangan/badan) ke dalam saham perusahaan. “Kebijakan
memisahkan/melepas/mengambil Unit PT PLN (Persero) dan unit anak perusahaannya
adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang sangat kasar dan membabi buta,” tegasnya.
Kendati demikian, serikat pekerja di lingkungan PLN mendukung
Program Transformasi Organisasi Kementerian BUMN khususnya untuk mempercepat terbentuknya holdingisasi ketenagalistrikan
dengan menggabungkan seluruh aset-aset ketenagalistrikan yang ada di BUMN-BUMN
lain menjadi Holding Company di bawah PT PLN (Persero).
“Biarlah BUMN kembali kepada Tupoksinya masing-masing
kalaupun ingin ditata,” ujar M. Abrar Ali, Ketua Umum SP PLN dalam kesempatan
yang sama. “Pemerintah berkeinginan untuk menjalankan Paris Agreement tentang
bagaimana mereduksi gas buang. Untuk itu Pemerintah menugaskan kepada PLN untuk
mengembangkan pembangkit-pembangkit EBT. Nah PLTP-PLTP yang ada itu
menjadi modal dasar bagi PLN untuk mengembangkan EBT yang lain. Kalau ini
diserahkan pada BUMN yang lain pengelolaannya, ini kan sudah tumpang
tindih,” pungkas Abrar Ali. R2