Seorang petani anggota Gapoktan Saluyu sedang sibuk mengolah pupuk organik jenis pupuk kompos. Foto: Ridwan Harahap |
Karawang, OG Indonesia -- Bangunan
sederhana itu terletak di lingkungan yang cukup tenang dan asri di tepi sungai
kecil namun bertebing tinggi. Hanya sekitar 1,5 kilometer dari komplek Stasiun
Kompresor Gas (SKG) PT Pertamina Gas (Pertagas) Cilamaya, menyeberangi jembatan
bambu yang hanya bisa dilewati kendaraan beroda dua. Di sinilah tempat
berkumpul para petani anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Saluyu dari
Dusun Sarimulya, Desa Cilamaya, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang,
Jawa Barat.
Siang hari itu terlihat 3-4 orang
petani di sekitar bangunan yang konstruksinya dibiayai pihak Pertagas
tersebut. Satu orang terlihat sibuk mengaduk pupuk organik jenis pupuk kompos
dengan cangkul garu, sementara yang lain sibuk berbincang satu sama lain. Pupuk
kompos tersebut diolah dalam wadah persegi dari kayu dengan alas kain saring
berwarna hijau. Pupuk itu diletakkan agak ke dalam bangunan agar teduh dan
terhindar dari sinar matahari langsung. Di sampingnya terlihat beberapa drum
besar berwarna biru untuk menyimpan dan memfermentasikan pupuk organik jenis
lainnya yaitu pupuk organik cair (POC).
Aep Endang Sudrajat, Ketua
Gapoktan Saluyu menerangkan, untuk pupuk kompos dipakai petani dengan cara
ditabur sebelum sawah dibajak. Campurannya antara lain kohe (kotoran hewan)
dari sapi, gedebog pisang, eceng gondok, hingga sekam padi. Semua bahan
tersebut bisa diperoleh dari lingkungan sekitar, kecuali kohe yang dibeli
Gapoktan Saluyu dari Bekasi. “Beli kotoran sapinya per ton Rp 400 ribu, ongkos
bongkar muatnya Rp 200 ribu. Kemarin kita beli 14 ton untuk satu musim. Jadi 1
ton kohe untuk 1 hektare, itu bisa dipakai sampai panen,” kata Aep saat ditemui
OG Indonesia, Sabtu (29/8/2020).
Menurut Aep, ongkos untuk pupuk
kompos jauh lebih murah ketimbang dahulu saat memakai pupuk kimia. “Pengurangan
biayanya hampir 50 persen, dari per hektare biasanya Rp 9 juta (pakai pupuk
kimia), ini paling Rp 5,5 juta,” papar Aep.
Sementara untuk membuat POC
terdiri dari campuran air kelapa 25 liter, air beras 25 liter, serta gula merah
yang direbus jadi cair sekitar 25 liter. Ditambah pula sekitar 20 kilogram kotoran
sapi dan sedikit eceng gondok. Semuanya dicampur lalu difermentasikan di
dalam drum yang ditutup menggunakan plastik selama dua minggu untuk
menghasilkan sekira 200 liter POC. “Pupuk organik cair itu buat disemprotkan di
sawah,” jelas Aep.
Ditambahkan olehnya, 200 liter POC
tersebut bisa dipakai untuk empat kali penyemprotan ke sawah seluas 5 hektare. Penyemprotannya sendiri dilakukan seminggu sekali. “Biayanya juga lebih murah. Yang dibeli paling air
kelapa dan gula merah, kalau air beras mah enggak beli, kita kumpulin aja
dari masyarakat,” sambungnya.
Tanah Subur, Produksi Padi
Meningkat
Ide memanfaatkan pupuk organik
yang bahannya mudah ditemui di lingkungan sekitar serta jauh lebih murah
tersebut, dikatakan Aep berasal dari pihak Pertagas yang punya kegiatan operasi distribusi
gas di sekitar Cilamaya. Jadi selain melayani kebutuhan akan gas dari para
pelanggan industrinya, Pertagas secara tulus juga berbagi pengetahuan dan
bantuan untuk meningkatkan taraf hidup petani di lingkungan daerah operasinya.
Tujuan pemanfaatan pupuk organik salah
satunya agar tanah dari sawah yang digarap para petani jadi subur serta minim
unsur kimiawi. “Selama ini petani selalu memakai pupuk kimia yang akhirnya
tanah jadi enggak subur lagi, tanamannya juga mudah kena hama. Alhamdulillah
setelah mengikuti program ini pertumbuhan padi sehat, terhindar dari hama
wereng,” syukur Aep.
Aep Endang Sudrajat, Ketua Gapoktan Saluyu. Foto: Ridwan Harahap |
Tidak hanya itu, produksi padi
pun makin meningkat. Karto, salah satu petani anggota Gapoktan Saluyu
mengungkapkan sekarang ini produksi padi bisa mencapai 5,5 ton per hektare. Sebelumnya,
saat memakai pupuk kimia hanya bisa mendapatkan hasil 4 ton per hektare. “Setelah
pakai pupuk organik ini tanaman jadi bagus, hasil panennya juga bagus,” ujar
Karto puas. Apalagi harga beras organik juga lebih tinggi yaitu sekitar Rp 15.000
per kilogram, dibandingkan beras biasa yang berkisar Rp 10.500-11.000 per
kilogram.
Tidak heran banyak petani dari
Gapoktan Saluyu yang belum ikut program pemanfaatan pupuk organik untuk sawahnya
kini tertarik juga untuk mencoba, apalagi di tengah situasi sulit karena pandemi
COVID-19. Aep bercerita, pada musim pertama Gapoktan Saluyu memakai pupuk organik sekitar awal
tahun 2019, baru 7 hektare sawah milik dari 7 petani saja yang memakainya.
Setelah sukses di musim perdananya,
pada musim kedua sawah yang memakai pupuk organik bertambah luas jadi 14
hektare, milik 14 petani. Dan di musim
tanam ketiga yang baru mulai saat ini bertambah luas lagi sawahnya menjadi 28
hektare, milik 26 orang petani. “Sekarang pada pengen ikut. Petani pada pengen
karena dilihat hasilnya bagus,” ungkap Aep. Gapoktan Saluyu sendiri terdiri
dari 7 kelompok, dengan total anggota sebanyak 374 petani.
Hadir Jadi Solusi Masalah
Zainal Abidin, Manager
Communication, Relations & CSR PT Pertamina Gas, bersyukur petani dari
Gapoktan Saluyu sekarang bisa lebih maju. Sebelumnya, Pertagas melihat ada
masalah kesuburan yang kian berkurang pada lahan persawahan di Desa Cilamaya akibat
penggunaan pupuk kimia. Pertagas lantas merangkul Dinas Pertanian setempat untuk
memberikan pelatihan pengolahan serta pemanfaatan pupuk organik kepada petani dari
Gapoktan Saluyu. Pertagas juga memberi bantuan peralatan pertanian serta bahan-bahan
pembuat pupuk organik kepada para petani. “Alhamdulillah setelah menggunakan
pupuk organik, kadar PH tanah berangsur-angsur kembali ke kondisi normal,”
cerita Zainal.
Pertagas berharap pertanian ramah
lingkungan akan semakin berkembang untuk menyelamatkan lingkungan pertanian
dari efek kurang baik akibat penggunaan pupuk kimia secara berkepanjangan. “Keberhasilan
Gapoktan Saluyu memanfaatkan pupuk organik di lahan pertanian mereka kami harap
mampu menginspirasi dan memotivasi kelompok lain untuk beralih ke pertanian
ramah lingkungan,” pesan Zainal.
Menurut Risna Resnawaty, Pengamat
CSR yang juga Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran,
program CSR terkait padi organik yang dijalankan Pertagas untuk petani Cilamaya
merupakan suatu upaya yang baik. “Ini merupakan salah satu implementasi CSR yang
mendukung pencapaian SDGs (The Sustainable Development Goals) khususnya food
security atau keamanan pangan secara global,” kata Risna.
Kendati demikian, lanjut Risna, keberhasilan
pengembangan pertanian berbasis organik ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang
mudah. Sebab bukan hanya tentang teknologi yang berubah, tetapi juga menyangkut
perubahan perilaku. Untuk itu, lanjut Risna, dibutuhkan kesabaran dari petani yang
menjalankan karena pupuk maupun cara tanamnya berbeda dengan cara konvensional.
Namun menurutnya, petani pada dasarnya ulet dan mau berubah dengan penjelasan,
sosialiasasi, serta pendampingan yang baik dari perusahaan. “Pelatihan
keterampilan merupakan hal penting, namun pendampingan bagi petani saat masa
transisi juga sangat penting,” tegas Risna. (Ridwan Harahap)
Cara Cerdas Pertagas Berdayakan Petani Cilamaya
Reviewed by OG Indonesia
on
Minggu, Agustus 30, 2020
Rating: