Oleh: Rudi Rubiandini, Profesional Energi
Munculnya wabah virus korona baru atau COVID-19 turut mengurangi kegiatan ekonomi dunia. Mulai dari transportasi yang turun drastis, kebutuhan energi untuk menunjang fasilitas umum banyak yang berhenti, dan banyak pula industri yang mengurangi kegiatannya. Dampaknya, permintaan akan minyak dan gas pun akan turun drastis. Tak heran secara bersamaan harga minyak dunia turun, di mana kini di bawah USD 30 per barel. Untuk kembali pada kesetimbangan di harga USD 50-70 per barel sangatlah sulit terjadi dalam waktu yang dekat.
Bagi perusahaan migas dunia, dengan harga hanya USD 30 per barel maka negara-negara yang biaya produksi minyaknya sekitar USD 30 per barel tentu akan memilih lapangan-lapangan yang relatif lebih rendah biayanya untuk terus dijalankan. Akan tetapi yang biayanya cukup tinggi akan ditutup. Adapun negara-negara yang termasuk klasifikasi Berbiaya produksi tinggi (dalam USD per barel) secara rata-rata adalah: Inggris (45), Brazil (35), Nigeria (29), Venezuela (28), Kanada (27).
Bila Harga minyak dunia menyentuh sampai USD 25 per barel, maka menyusul negara-negara berikut yang akan mengalami masalah: USA Shale (24), Norwegia (22), USA non-Shale (21), Indonesia (20), Rusia (20).
Begitu juga bila harga minyak dunia sampai di bawah USD 20 per barel, maka hampir seluruh dunia akan mengalami kesulitan dalam memproduksikan lapangan minyaknya, kecuali Saudi Arabia yang hanya membutuhkan sekitar USD 10 per barel.
Dilihat dari sebaran produksi minyak dunia, maka efek dari turunnya harga minyak, bila terjadi terus-menerus di bawah USD 30 per barel, maka dari negara-negera yang terkena masalah yaitu Inggris, Brazil, Nigeria, Venezuela, Kanada, yang selama ini total memproduksi sekitar 12 juta barel per hari bisa saja 5 Juta barel per hari akan terkurangi karena beberapa lapangannya tidak ekonomis. Namun bila harga menyentuh sampai USD 25 per barel maka dari negara-negara USA, Norwegia, Indonesia, Rusia, dengan total produksi sekitar 30 juta barel per hari bisa saja terganggu tidak kurang dari 10 juta barel per hari akan dengan sendirinya terkurangi produksinya.
Bagi Indonesia, sebagai negara Net Importir minyak mestinya akan meringankan kebutuhan USD dalam belanja Minyak, akan tetapi efek domino dari turunnya harga minyak dengan disertai makin lesunya kegiatan hulu migas akan mengakibatkan banyak perusahaan kontraktor penunjang berhenti. Ditambah berhentinya kegiatan eksplorasi, turunnya produksi karena beberapa lapangan tidak ekonomis, serta penurunan pajak-pajak yang menyertainya, maka secara keseluruhan akan menurunkan pendapatan untuk APBN.
Beberapa Perusahaan Migas di Indonesia sudah bersiap menurunkan biaya operasinya agar masih bisa selamat melewati masa-masa sulit akibat turunnya harga minyak. Mereka akan memprioritaskan pada kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan produksi dan memangkas biaya dan kegiatan penunjang serta pengembangan lapangan, merevisi WP&B (Work Program and Budget), sampai merenegosiasi kontrak-kontrak dengan perusahaan penunjang baik dari harga maupun dari volume kerja. Hal tersebut tentunya akan memberi efek pengurangan kegiatan pada perusahaan penunjang migas, di mana efek berikutnya akan terasa pada kegiatan perbankan yang selama ini membantu perusahaan-perusaan yang bergerak pada industri migas. Juga secara langsung akan terasa pada kegiatan ekonomi masyarakat dari segmen masyarakat migas yang selama ini menggunakan jasa dari pihak ketiga.
Untuk perusahaan yang masih bergerak di sisi eksplorasi akan sangat berat, karena secara psikologis daya tarik untuk meneruskan kegiatan eksplorasi menjadi lesu. Di mana bila ditemukan cadangan minyak sekalipun, akan sulit membuat POD (Rencana Pengembangan Lapangan) dengan harga jual minyak yang rendah ini.
Efek hadirnya virus korona yang sudah menjadi Pandemi di dunia termasuk Indonesia, secara operasional juga akan mengganggu aktivitas bagi pekerja di kantor maupun di lapangan. Bagi mereka yang kerja di kantoran dengan adanya kebutuhan untuk Social Distancing maka untuk waktu tertentu dilakukan WFH (Work From Home). Dan berikutnya, walaupun masuk kerja akan mengalami berbagai keterbatasan termasuk akan mengurangi rapat secara langsung. Apalagi beberapa kota sudah ada kebijakan pemerintah untuk melakukan PSBB (tidak ada kegiatan di jalanan), jelas akan banyak yang terganggu dalam berbagai hal.
Bagi mereka yang kerja di lapangan, juga mengalami kesulitan untuk melakukan jaga jarak dengan teman sekerja, apalagi di tempat pengeboran (Rig Crew), di kantin tempat makan bersama, sampai di wokshop dan bengkel-bengkel. Yang akan sangat parah dan harus disiapkan antisipasinya, bila salah seorang di antara pekerja ada yang terkena pengawasan atau malah positif korona, maka akan sangat mengganggu kinerja karena harus ada pembersihan tempat kerja dan pemeriksaan terhadap teman-temannya yang beberapa hari terakhir berhubungan denganya.
Kita tidak bisa berpangku tangan dan membiarkan terjadi, walau bukan terjadi pada diri sendiri. Rasa Empati dan membantu masalah bersama, apalagi kasus ini adalah kasus berantai, maka setiap orang harus peduli dan patuh pada kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Petunjuk dan SOP yang telah dibuat.
Oleh karena itu dibutuhkan perencanaan ulang dari setiap pelaksana industri migas, mulai dari Kementerian ESDM, SKK Migas, seluruh KKKS baik yang produktif maupun eksploratif, perusahaan penunjang migas, dan pihak ketiga lainnya yang selama ini menyertai kegiatan industri hulu migas.
Perencanaan ulang tersebut bukan hanya dalam hal pengaturan kembali masalah keuangan, belanja, kegiatan, tetapi termasuk target-target yang sudah direncanakan harus dikalkulasi ulang. Karena resesi industri migas ini tidak akan sembuh dan kembali normal dalam kurun waktu bulanan, mungkin baru akan bisa kembali pada kesetimbangan baru pada tahun-tahun ke depan.
Semoga selalu ada jalan dan mendapat hikmah dari kesulitan yang sedang dihadapi kita bersama. Aamiiin.
Industri Minyak Menghadapi Resesi
Reviewed by OG Indonesia
on
Selasa, April 21, 2020
Rating: