Foto : Istimewa |
Tenaga Ahli Bidang Migas Kemenko Maritim dan Sumber Daya, Haposan Napitupulu, mengungkapkan idealnya tingkat pengembalian investasi (Investment Rate Return/IRR) untuk East Natuna adalah 12% per tahun, sehingga modal yang dikeluarkan investor bisa kembali dalam waktu kurang lebih 8 tahun.
Untuk mencapai IRR sebesar 12%, sejak 5 tahun lalu Pertamina telah mengusulkan sejumlah insentif, seperti pengurangan pajak, perpanjangan durasi kontrak, investment credit, dan sebagainya.
"Supaya masuk keekonomiannya, maka harus diberikan insentif, misalnya tax holiday. Kalau hanya berbasis PSC saja, IRR-nya hanya 8%. Pernah diusulkan insentif, kalau kita beri Government Share After Tax diskon 10%, perpanjangan kontrak selama 30 tahun, naik jadi 9%. Kalau First Tranche Petroleum (FTP) tidak untuk pemerintah semua naik lagi jadi 10,4%. Kemudian kita beri Investment Credit 50% selama 5 tahun naik lagi jadi 10,5%. Beri Assume and Discharge on Direct in Tax diberlakukan, naik jadi 11,2%. Kemudian tax rate kita turunkan dari 40,5% jadi 32,5% naik lah jadi 12%. Ini skenario dari Pertamina tahun 2013," kata Haposan kepada OG Indonesia di Jakarta, Jumat (15/7/2016).
Sedangkan untuk mencegah gas CO2 menyembur dan mencemari udara saat pengeboran di Natuna, Exxon Mobil telah menyiapkan teknologi dan metode khusus. "Itu sudah dipikirkan oleh Exxon Mobil. Itu akan diinjeksikan lagi, sudah dipetakan, sudah disiapkan wilayah untuk injeksi CO2-nya, itulah sebabnya biayanya mahal. Pemerintah sudah memberikan lokasi untuk injeksi, ada reservoir di atasnya," Haposan mengungkapkan.
Artinya, sebenarnya masalah keekonomian dan teknologi yang selama ini disebut-sebut sebagai penghambat pengembangan Blok East Natuna sudah pernah ditemukan solusinya. Tapi skenario yang diajukan Pertamina itu tidak diterima oleh pemerintah. Pemerintah enggan memberi insentif sebesar itu dan tak mau mengubah aturan-aturan yang ada. Akibatnya, sampai sekarang Blok East Natuna tetap terbengkalai, tidak ada kegiatan sama sekali.
Hambatan utama dalam pengembangan Blok East Natuna sebenarnya bukan masalah keekonomian dan teknologi, tapi komitmen dari pemerintah. Selama ini pemerintah terkesan enggan membuat terobosan, terlalu birokratis dan kaku dalam menerapkan aturan. Kalau saja pemerintah mau berkorban sedikit, kedaulatan bisa ditegakan, keuntungan pun bisa diperoleh dalam jangka panjang.
"Kendala utamanya adalah keinginan pemerintah. Pemerintah punya willing nggak untuk membangun ini? Kalau ada kemauan, diberikan lah semua fasilitas yang penting ini terbangun. Harusnya kan begitu baru bisa dibangun," ucapnya.
"Kalau kata pemerintah aturannya harus begini begitu, fiskalnya nggak bisa begini nggak bisa begitu, pemerintah dapat apa? Nggak dapat apa-apa juga. Kalau kasih tax holiday 10 tahun, memang 10 tahun nggak dapat pendapatan pajak, tapi setelah 10 tahun kan dapat. Yang penting ini bisa dikembangkan," dia menambahkan.
Pihaknya meminta pertimbangan keekonomian dikesampingkan dulu, sekarang yang nomor satu adalah kedaulatan negara. Blok East Natuna harus segera digarap Indonesia supaya tak dicaplok China. Harga minyak yang sedang rendah bukan halangan, pemerintah bisa mengurangi jatahnya dan memperbesar bagian untuk investor dalam kontrak bagi hasil, yang penting Blok East Natuna bisa dikembangkan.
"Apakah mungkin split pemerintah dikurangi, atau yang lain. Kalau split pemerintah dikurangi, mereka bayar ke pemerintah jadi lebih sedikit, biaya operasinya jadi lebih murah. Penerimaan negara memang akan berkurang di hulu kalau split kecil. Tapi nggak apa-apa, selama pembangunan kan banyak orang kerja di sana, ada aktivitas, ada kegiatan. Jadi mereka (China) mikir juga kalau mau mengklaim, ada kegiatan. Seharusnya pemerintah berpikir bukan hanya segi komersialitas, tapi juga kedaulatan negara," tandasnya.
Kemauan Pemerintah, Hambatan Utama Pengembangan Ladang Gas East Natuna
Reviewed by OG Indonesia
on
Senin, Juli 18, 2016
Rating: